“Pelaku pengerah pelajar anak-anak dibawah umur untuk ikut berdemontrasi tersebut dapat diduga mempunyai skenario yang harus digali tujuan dasarnya oleh Polri. Mengingat relevansi pemanfaatannya bagi pelajar anak-anak dibawah umur terhadap penolakan berlakunya Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak ada.”
Oleh: Alexius Tantrajaya, S.H., M.H
Aksi demontrasi/unjuk rasa penolakan terhadap Omnibus Law Undang-Undang Republik Indonesia tentang Cipta Kerja (Ciptaker) hingga sampai saat ini masih berlanjut. Padahal, bila dicermati dari RUU Ciptaker setebal 812 halaman, terdiri dari XV BAB dengan 186 Pasal, merupakan peleburan bermacam aspek dari 79 Undang-Undang dengan 1.244 Pasal. Direvisi dan digabung menjadi satu dalam Omnibus Law UU Ciptaker dengan harapan agar investasi mudah masuk ke Indonesia.
Kini publik sudah dapat membaca secara detail dari draf final RUU Cipta Kerja tersebut, karena pada tanggal 14 Oktober 2020 secara resmi oleh DPR-RI telah diserahkan kepada Presiden R.I. selaku Kepala Pemerintahan untuk diundangkan. Publik juga dapat menguji langsung kebenaran atas penjelasan resmi Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) melalui media Televisi pada tanggal 9 Oktober 2020, tentang maksud dan tujuan dibentuknya Omnibus Law UU Ciptaker adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur. Dengan melakukan reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi oleh Pemerintah Indonesia melalui kebijakan strategis Cipta Kerja.
Hal ini meliputi, Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha, Ketenagakerjaan, Kemudahan, Pelindungan dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM, Dukungan Riset dan Inovasi, Pengadaan Tanah, Kawasan Ekonomi, Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional, Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan Untuk Mendukung Cipta Kerja, Pengawasan dan Pembinaan. Semua dilakukan dengan penyederhanaan sistem perizinan secara terintegrasi melalui elektronik, agar pungutan liar (Pungli) dan korupsi dapat dihilangkan.
Oleh karena Omnibus Law atau Undang-Undang Sapu Jagat, merupakan suatu Undang-Undang hasil amandemen/revisi atas sejumlah Undang-Undang dengan berbagai macam topik, maka seharusnya Mahasiswa selaku intelektual generasi penerus bangsa, ketika melakukan demontrasi terlebih dahulu sudah menguasai plus minusnya dari UU Ciptaker.Bukan hanya menolak Omnibus Law secara keseluruhannya, melainkan harus bersikap kritis dan selektif sesuai penguasaan disiplin keilmuannya dari pasal UU Ciptaker yang mana yang tidak sesuai untuk dimohonkan pembatalannya disertai argumentasi hukumnya.
Apabila nantinya pasal dimaksud masih tetap diundangkan, maka Mahasiswa bisa memberikan edukasi secara konstitusional kepada masyarakat Indonesia dengan melakukan uji materiel/judicial revieuw ke Mahkamah Konstitusi. Cara penyelesaian secara konstitusional tentu akan memberikan rasa simpati dari masyarakat Indonesia kepada Mahasiswa. Sekaligus dapat dihindarkan resistensi demontrasi yang dilakukan oleh Mahasiswa dan buruh tersebut dapat ditunggangi oleh pihak-pihak lain yang telah merencanakan agar unjuk rasa bisa berakhir rusuh dan anarkis. Dan faktanya dari demontrasi/unjuk rasa yang terjadi selama ini, dari tanggal 5 Oktober 2020 sampai saat ini telah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu dengan pengerahan massa dan anak-anak pelajar sekolah dibawah umur.
Demontrasi berujung rusuh dan anarkis sehingga mengakibatkan kerusakan fasilitas umum, fasilitas Kepolisian dan harta benda milik warga masyarakat di beberapa wilayah Indonesia. Karenanya dalam penindakan hukum terhadap para pelakunya, Polri harus tegas dan dapat menjerat otak pelaku/Aktor Intelektual yang telah mengerahkan dan menggerakan pelajar anak-anak dibawah umur dimasa pendemi Covid-19 untuk ikut demontrasi dalam peristiwa tersebut.
Disamping dijerat delik dalam KUHP, UU ITE, maka juga harus dijerat dengan delik dalam Undang-Undang Nomor:35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor:23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Karena dari pelajar anak-anak dibawah umur yang tertangkap Polisi ikut demontrasi/unjuk rasa, diperoleh fakta ketika ditanya oleh petugas menyatakan “tidak tahu, apa itu Omnibus Law UU Cipta Kerja, dan mereka hanya ikut demontrasi karena diajak saja”.
Untuk itu, pelaku pengerah pelajar anak-anak dibawah umur untuk ikut berdemontrasi tersebut dapat diduga mempunyai skenario yang harus digali tujuan dasarnya oleh Polri. Mengingat relevansi pemanfaatannya bagi pelajar anak-anak dibawah umur terhadap penolakan berlakunya Omnibus Law UU Cipta Kerja tidak ada. Kecuali mudaratnya, pelajar anak-anak dibawah umur selaku generasi penerus bangsa, kedepannya dikuatirkan terbentuk kepribadiannya menjadi sosok yang militan dengan keyakinan melalui kekerasan merupakan jalan penyelesaian masalah bangsa. Bila demikian, maka cita-cita untuk terciptanya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, menjadi terhambat bisa terwujud.
Penulis Alexius Tantrajaya, S.H., M.Hum adalah Praktisi Hukum Senior, Pengamat Kebijakan