Hukum  

Suara dari Sukamiskin: Silang Pendapat Putusan MK Soal Remisi

OC Kaligis saat persidangan di MK/Foto:JJ

Sukamiskin, Kamis, 14 Oktober 2021
Hal: Surat terbuka
Kepada yang terhormat para rekan media se-Indonesia.
Dengan penuh hormat,

Surat terbuka ini saya tujukan khususnya karena terjadinya silang pendapat atas Putusan MK Nomor: 41/PUU-XIX/2021.

Kemenkumham Bali

Pertama-tama hendak saya luruskan mengenai istilah korupsi. Korupsi adalah bukan kejahatan luar biasa yang diplesetkan oleh LSM sebagai extraordinary crime yang identik dengan kejahatan kemanusiaan. Istilah korupsi yang dipakai adalah Trans National Organized Crime. Bukan kejahatan pembantaian umat manusia. Saya aktif mengikuti seluruh pembicaraan mengenai korupsi di Wina, Austria selama tiga tahun sebagai perwakilan Indonesia. Hasil pengalaman saya di PBB di Wina saya bukukan melalui buku berjudul “Corruption as Transnational Organized Crime”. Saya persilahkan para LSM, termasuk oknum KPK yang gagal paham mengambil buku saya itu, tanpa bayar di kantor saya.

Awal mula guguatan saya, saya lanyangkan karena adanya surat dari KPK yang dialamatkan kepada saya yang inti bunyi surat itu, bahwa saya seumur hidup tidak akan pernah dapat memperoleh remisi.

Padahal bukti yang saya peroleh dari berkas di register Kalapas, KPK secara tebang pilih memberikan predikat Justice Collabolator.

Semuanya disebabkan karena otoritas yang tidak berlandaskan hukum  yang dalam praktek diberikan kepada KPK. Akibatnya terjadi  pemberian JC yang tebang pilih.

Berikut beberapa catatan saya sebagai orang yang melakukan perjuangan hukum ke Mahkamah Konstitusi, demi nasib sesama para warga binaan, korban perlakuan diskriminasi.

Semoga memberi pencerahan kepada para cendikiawan yang gagal paham, kepada para rekan media yang berkecimpung di dunia hukum.

1.“Kewenangan untuk memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh Lembaga Pemasyarakatan yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaan tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain, apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan semangat pembinaan warga binaan,(Kutipan pertimbangan hukum para Hakim Konstitusi di halaman 48 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor: 41/PUU-XIX/2021).

2. Mengenai kapan wewenang KPK sebagai penyidik dan penuntut berakhir. Pertimbangan Putusan para Hakim Mahkamah Konstitusi dapat dibaca di halaman yang sama yang kutipannya adalah sebagai berikut: Oleh karenanya sampai pada titik tersebut segala kewenangan mulai dari penyidikan, penuntutan sampai dengan persidangan pengadilan telah berakhir, dan selanjutnya menjadi ruang lingkup sistem pemasyarakatan, sehingga hal tersebut kehilangan relevansinya apabila dikaitkan dengan syarat pemberian remisi bagi narapidana.” (Dari pertimbangan ini, hak para warga binaan untuk mendapatkan remisi, dimulai terhitung putusan dinyatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat, putusan inkrach).

3. Mengenai kompetensi KPK sebagai Penyidik dan Penuntut umum yang berakhir setelah putusan in kracht, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi Nomor: 41 identik dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 33 tahun 2016 yang pertimbangannya adalah sebagai berikut: “Namun proses yang panjang telah dilalui dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan putusan  di Peradilan tingkat pertama, banding dan kasasi, dipandang telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Jaksa/Penuntut Umum menggunakan kesempatan yang dimilikinya untuk membuktikan kesalahan terdakwa.”. Pertimbangan di halaman 7 Putusan MK Nomor: 33/2016 konsisten dengan putusan Nomor: 41 tersebut di atas, mengenai batas kekuasaan penyidik dan Penuntut Umum, yang berakhir setelah putusan kasasi Mahkamah Agung, atau putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

4. Bukti dari Laporan Panitia Angket DPR-RI, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi yang diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, Februari 2018. Kutipan dari halaman 42 dan 43,: “Dibawah Judul: Peraturan Perundangan. Terbitnya PP 99 Tahun 2012 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara Pelaksanaan Hak  Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai JC.

 JC ditentukan pada posisi penyidikan dan penuntutan, kemudian ada PP 99 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa JC berlaku sampai di Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya merupakan kewenangan Undang-undang untuk mengatur.  Seluruh Warga Binaan kompetensinya berada dibawah Lembaga Pemasyarakatan bukan KPK. “PP Nomor 99  Tahun 2012 bertentangan dengan sistim perundang-undangan maupun penerapan criminal justice system.“.

” PP 99/2012 bertentangan dengan pasal 8 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang UU Pemasyarakatan. “Terjadi diskriminasi yang tidak memiliki landasan hukum dimana warga binaan tindak pidana korupsi mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan warga binaan pada umumnya dalam memperoleh hak-haknya yaitu hak remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan lain sebagainya. Kepada warga binaan korupsi dipersyaratkan harus memiliki predikat JC yang tidak memiliki landasan hukum.

5. Diskriminasi perlakuan persamaan hukum (equality before the Law) bertentangan baik menurut konstitusi RI maupun bertentangan dengan konvensi-konvensi PBB seperti The Nelson Mandela Rule mengenai The United Nations Standar Minimum Rules for Treatment of Prisioners, Paris Convention tahun 1948, Internasional Convention on Civil and Political Rights, yang juga kita ratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005.

6. Mengenai remisi adalah hak universal diputuskan melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 2368 K/Pid. Sus/2015 tertanggal 14 Desember 2015 yang diputus oleh Hakim Agung almarhum Artidjo Alkostar dalam perkara terdakwa Muhtar Ependy.

7. Dari uraian di atas, baik yang diputus oleh Mahkamah Konnstitusi maupun oleh pertimbagan dan pendapat hukum DPR-RI, dengan putusan untuk waktu yang berbeda, MK Nomor 33 Tahun 2016, DPR-RI di tahun 2018 dan MK di tahun 2021, semua sependapat bahwa pemberian remisi adalah bukan otoritas KPK. Bahkan JC sama sekali tidak punya landasan hukum. Berdasarkan Integrated Criminal Justice System, wewenang KPK jelas. Hanya pada tingkat penyidikan dan penuntutan, bukan pada tingkat putusan Hakim, apalagi merampas hak Lembaga Pemasyarakatan dalam urusan pembinaan. Lembaga Pemasyarakatan berada dibawah wewenang Menteri Hukum dan HAM cq. Dirjen Lapas.

8. Hak para warga binaan sesuai dengan pasal 14 UU Pemasyarakatan berlaku dimulai pada saat putusan in kracht.

9. Ketentuan ini mengacu pada dua putusan MK Nomor 33/2016 dan Nomor 41/2021, sehingga sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang putusannya adalah Erga Omnes, otoritas pembinaan Kabid Pembinaan di Lapas Sukamiskin dimulai berlakunya saat putusan in kracht.

10. Di saat itu berdasaran azas pengayoman pembinaan para warga binaan berada sepenuhya di Lapas.

11. Pembinaan harus demi Undang-undang dilakukan diluar campur tangan KPK. Adanya campur tangan yang selama ini dilakukan oleh KPK menyebabkan terjadi diskriminasi pemberian hak-hak warga binaan sebagai diatur dalam Pasal 14 UU Nomor 12 Tahun 1995.

12. Sebentar lagi buku saya berjudul “ Pemberian Remisi Tanpa Diskriminasi” akan saya terbitkan guna kepentingan para peminat hukum. Sekedar sebagai pencerahan ilmiah di bidang hukum. Buku ini adalah buku ke-14 di Lapas dari jumlah kurang lebih 126 buku-buku hukum saya. Sekedar untuk mengisi kesibukan keseharian saya sebagai warga binaan, korban kebencian KPK. Seandainya saya dapat menggerakkan peradilan jalanan, dapat menguasai media sebagaimana yang dimiliki oleh tersangka dugaan pembunuhan Novel Baswedan, saya yakin, saya tidak akan pernah menempati Lapas Sukamiskin.

Salam hormat saya yang terpasung oleh KPK dalam hal pemberian remisi. Inilah suara saya dari Sukamiskin.

Prof. Otto Cornelis Kaligis.
Cc. Yth. Dewn Pers.
Cc. Yth. Bapak Ketua Komisioner KPK Bapak Firli Bahuri yang dihujat setiap harinya oleh Novel Baswedan.
Cc. Yth Para Dewan Pengawas KPK.
Cc. Yth. Bapak DR. Ngabalin yang punya otoritas agar surat saya sampai ke meja Bapak Presiden.
Cc. Yth. Bapak Menteri Hukum dan HAM Bapak Prof. Yasonna Laoly Ph.D.
Cc. Yth Bapak Wakil Menteri Hukum dan HAM Bapak Prof. DR. Edward Omar Sharif Hiariej SH.
Cc. Yth. Para Professor pendukung tersangka Novel Baswedan.
Cc. Yth. Obudsman dan Komnas HAM.
Cc. Pertinggal.(*)

Tinggalkan Balasan