Jakarta,SudutPandang.id-Pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra mengaku kagum dengan karya sastra pengacara asal Belitung Kurnianto Purnama, SH, MH, yang dituangkan dalam buku “Bunga Edelweiss, Sebuah Antalogi Prosa dan Puisi”.
Apresiasi Yusril terhadap Kurnianto Purnama ini, disampaikan dalam kata pengantar buku kumpulan puisi yang diterbitkan RMBooks.
“Puisinya ditulis dengan sederhana, mudah dimengerti dan maknanya mudah dipahami. Puisinya agak berbeda dengan puisi yang ditulis sastra lain, karena berisi sesuatu yang konseptual, lalu dituangkan dalam bentuk prosa dan puisi,” ujar Yusril.
Menurut Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini, setiap puisi Kurnianto mengandung satu tema yang tersusun dalam baris-baris, bait-bait, rima dan kadang disertai majas, sehingga tampak menarik, estetik dan humanis.
“Pada dasarnya Pak Kurnianto adalah sosok pengacara yang bagian terbesar pekerjaannya adalah membaca dan menulis. Namun, menulis prosa dan puisi tetaplah bukanlah sesuatu yang mudah, sebab memerlukan pikiran dan renungan agar mendapatkan pilihan kata-kata yang indah dan bermakna,” tutur pria kelahiran Belitung yang pernah menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM ini.
Atas apresiasi Yusril itu, Kurnianto mengaku tersanjung. Hal ini semakin memotivasi dirinya untuk terus berkarya.
“Terima kasih Prof Yusril, salah satu sosok idola saya yang telah mengapresiasi melalui kata pengantar buku kumpulan prosa dan puisi saya,” ucap Kurnianto dalam keterangan pers, kepada SudutPandang, Sabtu (25/1/2020).
Kurnianto menuturkan, bukunya itu adalah prosa-prosa dan puisi-puisi yang diadopsi dari beragam peristiwa nyata dan fenomena berdasarkan pengalaman hidupnya.
“Kumpulan puisi tersebut saya tulis sejak tahun 2016 hingga tahun 2019. Saya berharap buku ini bak Bunga Edelweiss yang tak pernah layu dan tetap merekah abadi, sekalipun saya telah tiada,” ujar pria yang merampungkan studi Magister Hukum Bisnis di Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.
Ia mengatakan, profesi penulis sebenarnya adalah seorang pengacara. Sehingga sangat logis bila seorang pujangga terlahir dari pengacara. Sebab, kepiawaian seorang pengacara terbesar adalah menulis dan berbicara. Sama halnya seperti jurnalis, penyair atau pujangga.
“Berdasarkan ilmu psikologi, orang yang cerdas dalam ilmu linguistik, cocok menjadi jurnalis, penyair dan pengacara,” katanya.
“Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada istri saya tercinta, Lian Ing, yang memberikan inspirasi kepada saya dalam berkarya baik prosa maupun puisi, dan semua pihak lainnya,” sambung Kurnianto.
Mengutip pernyataan Kahlil Gibran, ia mempresentasikan penyair sebagai rantai penghubung antara dunia saat ini dan dunia yang akan datang. Ia adalah sebatang pohon tertanam di lembah sungai keindahan dan burung yang membawa keajaiban. Dia lari dari kerajaan surga, lalu tiba di dunia ini untuk berkicau semerdu-merdunya dengan suara bergetar.
Pujangga yang berasal dari Pengacara
Buku “Bunga Edelwiess, Sebuah Antalogi Prosa dan Puisi” yang diluncurkan pada Rabu (15/1/2020) lalu, adalah karya ketiga pengacara bersahaja ini. Buku tersebut merupakan kempulan tulisan-tulisan Kurnianto, ia rekam dari fenomena nyata masyarakat, yang ditransformasi dalam prosa dan puisi, sebuah gaya penulisan baru kesusasteraan Indonesia. Inilah yang membedakan dari pujangga-pujangga lain di Tanah Air. Ia adalah seorang pujangga yang berasal dari pengacara.
Sebelumnya, ia juga menulis buku berjudul “Surat untuk Negeri, Bunga Rampai Pemikiran Hukum dan Politik”. Kemudian buku keduanya berjudul “The Lawyer” yang hingga saat ini banyak dibaca semua kalangan.
Bagi yang penasaran dengan buku kumpulan prosa dan puisi karya Kurnianto Purnama, bisa langsung membeli di toko buku terkemuka, atau menghubungi redaksi SudutPandang.red/*