“Alhamdulillah meski jualan di tengah alas, dan yang melintas hanya orang-orang tertentu saja, para pembeli tetap datang silih berganti.”
PONOROGO, SUDUTPANDANG.ID – Bagi masyarakat mungkin sudah dah tak asing lagi dengan “getuk”, kuliner khas Jawa berbahan dasar singkong. Apalagi jajanan tradisional tersebut kerap ditemui di pasar maupun beberapa tempat lain.
Termasuk di tempat yang sepi sekalipun, penganan tradisional ini masih dapat ditemui.
Seperti halnya Warung Tengah Alas (WTA) yang berada di jalur alternatif Ponorogo – Trenggalek atau tepatnya Dusun Plongko, Desa Jurug, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Warung tersebut telah menjual getuk sejak puluhan tahun silam secara turun temurun.
Dan uniknya, getuk yang dijualnya berbentuk gulungan. Sehingga pemilik warung menamainya dengan “getuk gulung”.
“Disebut getuk gulung karena bentuknya gulungan,” ucap Jari, pemilik warung kepada sudutpandang.id, Kamis (26/1/2023).
Jari menjelaskan, dengan diameter sekitar setelapak tangan dan panjang hampir selengan orang dewasa, getuk gulung ia banderol seharga Rp6.000 per biji. Sedangkan untuk tambahan toping parutan kelapa dan gula merah dijualnya Rp15.000 per mika.
“Untuk rasa, mungkin tidak jauh berbeda dengan getuk pada umumnya. Hanya saja setiap orang tentunya mempunyai ciri khas tersendiri, alhamdulillah pelanggan sudah banyak meski jualan di tengah alas (hutan),” ungkapnya.
Dalam sehari, ia mengaku mampu memproduksi sebanyak satu kuintal singkong. Omset itu diakuinya menurun sejak tidak beroperasinya kembali angkutan umum antar kota milik Damri.
Karena waktu itu ada sebagian pedagang asal Trenggalek yang sengaja datang naik Damri untuk kulakan getuk miliknya.
“Dulu pedagang Trenggalek naik Damri ke sini kulakan getuk, tapi sekarang sudah tidak karena angkutannya sudah berhenti,” paparnya.
Kendati demikian bukan berarti getuk miliknya hilang pembeli, warga sekitar hingga pedagang sayur keliling dan orang yang melintas masih tetap menjadi pelanggannya.
“Selain warga desa sini, yang membeli itu biasanya pedagang sayur keliling dan orang yang melintas,” ujar bapak dua anak ini.
Dengan dibantu keluarga, setiap harinya getuk itu dibuat saat menjelang sore. Sementara jam buka warungnya mulai pukul 7 pagi hingga 7 malam.
Hidupi keluarga

Getuk bukan satu-satunya jenis dagangan yang ada di warungnya, namun berkat usaha itu Jari yang kini berusia 49 tahun mampu menghidupi keluarganya.
“Alhamdulillah meski jualan di tengah alas, dan yang melintas hanya orang-orang tertentu saja, para pembeli tetap datang silih berganti,” ucapnya bersyukur.
Ke depan Jari berharap, usahanya itu terus berjalan walaupun perkembangan zaman menuntut perubahan.
Apalagi di era saat ini banyak bermunculan warung modern dan belanja online yang tentunya bertolak belakang dengan kondisi warung tradisional milik Jari.(DNY/01)