Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat [49]: 13).
Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab tafsirnya “Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir Bil-Ma’tsur” menyebutkan, terdapat dua kisah sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat ke-13 dari surah Al Hujurat tersebut.
Kisah pertama adalah pada saat Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam memasuki kota Makkah dalam peristiwa pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah). Ketika itu sahabat Bilal bin Rabah naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan adzan.
Hal itu membuat sebagian penduduk Makkah yang baru memeluk Islam terkaget-kaget. Di antara mereka ada yang berkata, “Budak hitam itukah yang adzan di atas Ka‘bah?” dengan nada meremehkan.
Sementara yang lainnya berkata, “Jika Allah membencinya, tentu akan menggantinya”. Lalu turunlah ayat ke-13 surah Al-Hujurat di atas, bahwa warna kulit dan keturunan bukan menjadi ukuran kemuliaan seseorang, melainkan ketakwaanlah yang membedakannya.”
Selain kisah di atas, terdapat kisah kedua yang disebutkan Imam As-Suyuthi. Diriwayatkan oleh Abu Daud, asbabun nuzul ayat tersebut berkenaan dengan permintaan Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam kepada seorang dari Bani Bayadhah untuk menikahkan salah satu putri mereka dengan Abu Hind yang berprofesi sebagai pembekam.
Tetapi mereka enggan melakukannya dengan alasan Abu Hind merupakan bekas budak mereka. Kemudian turunlah ayat tersebut sebagai jawaban bahwa kedudukan dan kemuliaan seseorang di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala diukur bukan dari silsilah nasab, garis keturunan atau pangkat dan kebangsawanan, melainkan karena ketakwaannya di sisi Allah Ta’ala.
Ayat di atas menjadi dalil untuk menghapus fanatisme jahiliyah dan diskriminasi sosial. Dalam khutbah Fathu Makkah, Rasulullah bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah melenyapkan dari kalian keburukan masa jahiliyah dan tradisinya yang selalu membangga-banggakan nasab dan keturunan. Manusia (di sisi Allah Ta’ala) itu hanya ada dua macam; yakni mereka yang berbakti, bertakwa lagi mulia dan orang-orang yang durhaka, celaka lagi hina.” (HR. At-Tirmidzi).
Dalam hadits lainnya, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim).
Maka, hidup dalam keragaman adalah refleksi dari kebesaran Tuhan yang tak terbatas. Di dalamnya ada keajaiban persatuan dan keharmonisan yang melampaui perbedaan.
Dalam konteks Indonesia, di sini pulalah arti pentingnya bersatu dalam perbedaan dan menghindari apa yang disebut “polarisasi”, terlebih dengan akan segera datangnya “pesta demokrasi”, persisnya pada 2024 mendatang.
Polarisasi Politik Potensi Perpecahan
Kata “polarisasi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya pembagian atas dua bagian. Polarisasi politik adalah pembelahan dua kelompok dalam masyarakat yang memiliki pemahaman dan dukungan yang berbeda kepada calon pimpinan masing-masing.
Polarisasi politik terjadi karena adanya perbedaan pandangan dan keyakinan terhadap isu-isu politik tertentu, atau perbedaan preferensi terhadap calon pimpinan yang berlaga dalam sebuah gelaran pemilihan umum (Pemilu) atau pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Jika polarisasi politik dibiarkan keberadaannya dalam kehidupan masyarakat, maka kondisi sosial akan memburuk dan dapat mengarah kepada aksi-aksi intoleransi, kekerasan verbal maupun fisik serta kerusuhan dan tindakan lainnya yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa tujuan Pemilu adalah untuk memilih dan menyeleksi para pemimpin, baik eskekutif maupun legislatif serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sesuai UUD 1945.
Maka, sudah seharusnya Pemilu dilaksanakan secara jujur, adil, penuh kesejukan, kedamaian, dan kegembiraan sehingga potensi perpecahan, kerusuhan, bahkan pertumpahan darah akibat polarisasi bisa dihindarkan.
Untuk itu pula dibutuhkan sinergi dan kerjasama semua pihak, dan Pemerintah harus memastikan bahwa pihak penyelenggara Pemilu bersikap netral, professional, dan independen.
Di sisi lain, aparat keamanan (TNI dan Polri) harus menjaga dan mengawal agar situasi dan kondisi sosial sejak sebelum, ketika, dan sesudah gelaran pesta demokrasi terwujud secara aman dan tertib. Jika ada pihak yang melanggar, maka harus segera dilakukan tindakan sesuai peraturan yang berlaku.
Demikian pula elemen masyarakat sipil harus bisa menahan diri, menghindari segala potensi polarisasi dan terus memperkuat tali silaturahmi agar salah paham dapat dihindari.
Ke depankan sikap husnudzan (prasangka baik) kepada pihak penyelenggara, aparat dan sesama warga masyarakat yang memiliki pandangan politik berbeda, dengan tetap waspada dan kritis terhadap segala hal yang mengarah pada kecurangan dan perpecahan.
Setiap individu hendaknya tidak menyebarkan berita bohong (hoaks) di tengah masyarakat, terutama di media sosial. Ciri utama hoaks adalah berupa “berita” yang membangkitkan emosi pembacanya untuk menjatuhkan lawan politik dengan mengupas aib dan kelemahan mereka.
Dalam kaitan ini, laporan dari “We Are Social” mencatat, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 212,9 juta pada Januari 2023. Itu berarti sekitar 77 persen dari penduduk Indonesia telah menggunakan internet, sehinggga sangat memungkinkan bagi siapapun untuk memanfaatkannya sebagai ajang kampanye, baik dalam sisi positif maupun negatif.
Sementara itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan fatwa nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Fatwa ini terbit dilatarbelakangi oleh kekhawatiran maraknya ujaran kebencian dan hoaks melalui media sosial yang bisa menimbulkan konflik dan memecah belah masyarakat.
Mewujudkan Pesta Demokrasi Damai dan Bermartabat
Masyarakat yang sadar dan memahami pentingnya menjaga kondusifitas lingkungannya merupakan kunci utama bagi kesuksesan pesta demokrasi. Untuk itu perlu edukasi massif, efektif, dan berkelanjutan kepada mereka tentang bagaimana berdemokrasi secara elegan sehingga terwujud pesta demokrasi yang damai dan bermartabat.
Sementara itu hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) beberapa waktu lalu menunjukkan 80,7 persen responden masih mempertimbangkan agama dalam memilih para calon pemimpin dan wakil rakyat.
Mengapa? Karena agama menjadi urat nadi masyarakat Indonesia yang masih tetap menjunjung nilai-nilai keagamaan, termasuk dalam pertimbangan preferensi politik.
Maka, peran para pemuka agama dalam membimbing umat sangat dinantikan masyarakat. Tausiyah keagamaan haruslah meneduhkan, bukan membuat kecemasan.
Oleh karena itu sarana ibadah harus menjadi tempat menerima wasiat ketakwaan dan mendekatkan diri kepada Tuhan, dan jangan menjadi tempat mengolok-olok dan menjatuhkan lawan.
Dalam kaitan itu pula tokoh agama harus merangkul dan mengajak masyarakat ke arah persatuan, dan bukan menjadi sosok yang mengajarkan kebencian dan perpecahan. Semenatara itu perbedaan pandangan politik dan pilihan pimpinan adalah keniscayaan.
Karenanya, tak perlu memaksakan pendapat dan pilihan kepada orang lain. Saling menghargai dan menghormati merupakan cara yang bijak agar situasi tetap kondusif dan keamanan tetap terpelihara. Sungguh tidak etis mengorbankan anugerah perbedaan hanya demi mendapatkan kekuasaan.
Bagi pihak yang menang nanti, kemenangan merupakan amanat dari rakyat yang harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab. Bagi pihak yang kalah, mereka berkesempatan untuk berkoalisi, atau menjadi oposisi dan berkompetisi pada pesta demokrasi selanjutnya.
Baik pihak yang menang maupun yang kalah, keduanya tetap punya kesempatan untuk berbuat yang terbaik bagi masyarakat. Pihak yang kalah dapat memberi nasihat kepada pemimpin yang sedang menjabat agar pembangunan dapat berjalan efektif efisien.
Sementara bagi yang menang dan sedang menjabat, jangan enggan menerima nasihat dari pihak lain karena dengan hal itu kelemahan dan kesalahan akan segera bisa diperbaiki, karena budaya saling menasihati merupakan salah satu unsur penting dalam keberlangsungan pembangunan sebuah bangsa.
Selain itu, nasihat juga menjadi bagian penting untuk mempererat hubungan persaudaraan, menumbuhkan rasa kebersamaan dan membantu saudaranya untuk mengetahui letak kekurangan dan kesalahan.
Rasulullah Shallallahu alaihi Wasalam bersabda, yang artinya,”Agama itu adalah nasihat. Kami (para shahabat) bertanya: Untuk siapa (Ya Rasulullah) beliau menjawab; Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya serta pemimpin-pemimpin ummat Islam dan juga bagi orang Islam umumnya.” (HR. Muslim).
Sementara Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu berkata, yang artinya: “Tidak ada kebaikan pada kaum yang tidak saling menasihati, dan tidak ada kebaikan pula pada kaum yang tidak mencintai nasihat.”
Kemudian, Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahumullah berkata, yang artinya: “Seorang mukmin itu biasa menutupi aib saudaranya dan menasehatinya. Sedangkan orang fajir (pelaku dosa) biasa membuka aib dan menjelek-jelekkan saudaranya.”
Maka, mari berlomba melakukan yang terbaik untuk negeri. Semaksimal mungkin menghindari polarisasi. Menjelang pesta demokrasi, ciptakan suasana damai, sejuk dan saling menghargai.
Semoga Indonesia yang kita cintai ini menjadi negeri penuh keberkahan dan senantiasa mendapat pertolongan dari Allah, Rabbul Izzati. Aamiin.
*Imaam Yakhsyallah Mansur adalah Pembina Yayasan Al-Fatah Indonesia