SUDUTPANDANG.ID – OC Kaligis kembali menulis surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam suratnya, Advokat senior itu memberikan masukan terkait penegakkan hukum.
Berikut isi surat terbuka selengkapnya yang ditulis OC Kaligis untuk Presiden Jokowi dari Lapas Sukamiskin, Bandung:
Sukamiskin, Senin, 26 Juli 2021.
Hal: Masihkah NKRI Negara Hukum ?
Kepada yang saya hormati Bapak Presiden Ir Joko Widodo di Jakarta,
Dengan hormat.
Perkenankanlah saya Prof. Otto Cornelis Kaligis, berdomisili hukum sementara di Lapas Sukamiskin Bandung, bersama ini hendak memberikan sumbangan pemikiran saya mengenai apakah masih tepat untuk mengatakan bahwa NKRI adalah Negara Hukum?.
Berikut sumbangan pemikiran saya baik sebagai praktisi dengan pengalaman lebih dari lima puluh tahun berkecimpung dalam praktek, membela perkara di dalam dan di luar negeri, maunpun dalam kedudukan saya sebagai Akademisi.
Berikut masukan pandangan saya:
1.Saya menyadari betapa Bapak Presiden dalam setiap kesempatan mempertegas bahwa NKRI adalah Negara Hukum. Oleh karena itu, penegak hukum harus tegas dalam menegakkan hukum secara adil, tanpa tebang pilih.
2. Cita-cita pejuang reformasi adalah penegakkan hukum, khususnya pemberantasan korupsi.
3. Ditandai dengan disahkannya Undang-undang KKN UU No.28 Tahun 1999, untuk memberantas praktek korupsi ,kolusi dan nepotisme.
4. Untuk pelaksanaan pemberantasan korupsi menuju pemerintahan yang bersih bebas korupsi, disahkan Undang-undang KPK UU No.30 Tahun 2002. Selain itu KUHP peninggalan kolonial masih tetap berlaku. Pernah KUHP baru hasil kerja keras almarhum Prof. Muladi telah rampung, pengesahannya di tunda bapak Presiden akibat protesnya ICW, kelompok Novel Baswedan, LSM dan media pendukung.
5. Sejak lahirnya NKRI, yang menjadi dasar negara adalah Pancasila dan UUD 1945.
6. NKRI bebas KKN. Disahkannya UU KPK tanpa adanya Dewan Pengawas menyebabkan kuasa
anarkis para penyidik. Mereka bebas melakukan penyidikan secara tebang pilih, memeriksa saksi di resort-resort mewah, menyita tanpa berita acara penyitaan yang disaksikan oleh dua orang saksi, merekayasa keterangan saksi, karena pengacara dilarang menjadi kuasa saksi untuk mendampingi di saat saksi diperiksa. Sehingga semua pertanyaan menjerat, cara-cara menekan dapat bebas dilakukan penyidik KPK.
7. Kurang lebih 40 anggota DPRD Malang yang hanya menerima gratifikasi sekitar 5 – 10 juta rupiah, dijerat hukuman 3 – 4 tahun. Sedangkan kasus dugaan korupsi Bibit-Chandra suap ratusan sampai miliaran rupiah perkara korupsinya bebas diadili, karena diduga dilindungi presiden SBY melalui deponeering.
8. Dari hasil penelitian saya di Lapas Sukamiskin, saya memperoleh banyak temuan hasil tebang pilih KPK. Sebutlah misalnya Ridwan Mukti eks Gubernur Bengkulu yang divonis tanpa bukti. Atau Saudara Budi Santoso eks Dirut PT. Dirgantara Indonesia yang divonis tanpa menghadirkan hanya satu orang saksi yang sebelumnya telah disumpah oleh penyidik, melalui kesaksian yang direkayasa, sehingga JPU takut menghadirkan saksi tersebut. Akhirnya Budi Santoso memutuskan untuk tidak banding karena sadar bahwa acara pemeriksaan di Pengadilan, tidak lebih dari pertunjukan sandiwara. Nasib yang sama dialami Surya Dharma Ali, Jero Wacik, Barnabas Suebu, Hotasi Nababan, Irman Gusman dan banyak korban lainnya. Temuan saya ini dibenarkan oleh DPR-RI ketika Pansus DPR melakukan pemeriksaan atas kinerja KPK era sekitar tahun 2018.
9. Beruntung sekarang Mahkamah Agung sadar akan banyaknya hasil penyidikan KPK yang melanggar hukum acara, sehingga banyak tuntutan KPK yang dianulir, melalui putusan bebas.
10. Ketika Novel Baswedan tersangka kasus dugaan pembunuh yang gagal tes ASN, dan ketika Bapak Presiden Jokowi tetap mengesahkan revisi UU KPK dan sekaligus melantik Dewan Pengawas, maka disaat sekarang yang menjadi target serangan adalah Presiden Jokowi dengan tuduhan Presiden melemahkan KPK karena mensahkan Dewan Pengawas KPK, sekaligus Novel Baswedan minta agar Firli Bahuri dipecat. Novel Baswedan dan kawan kawan lupa, bahwa diri Novel Baswedan sudah mesti masuk penjara, karena kasus dugaan pembunuhan Aan di Bengkulu dalam kasus pidana Burung Walet. Dan yang memerintahkan Novel Baswedan harus diadili adalah Hakim Pengadilan Bangkulu. Prof. Romli sebagai bidan yang melahirkan KPK sendiri membenarkan bahwa komplotan Novel Baswedan tidak lagi perlu dipertahankan.
11. Novel berhasil membuat badan peradilan baru bernama Ombudsman. Setiap kali menghadapi masalah hukum, Novel Baswedan berhasil “memperalat” Ombudsman. Buktinya, sangkaan pembunuhan terhadap dirinya, yang oleh putusan Pengadilan Negeri Bengkulu sudah harus dilimpahkan, ternyata perintah pengadilan tidak ditaati kejaksaan, hanya gara-gara selembar surat Ombudsman.
12. Padahal sumpah para pejabat Ombudsman adalah taat undang-undang. Pasal 9 UU Ombudsman
jelas melarang Ombudsman mencampuri wewenang hakim, apalagi mencampuri keputusan Pengadilan.
13. Reformasi pemberantasan korupsi gagal, karena sesuai dengan temuan Pansus DPRRI tahun 2018, justru KPK, akibat tidak adanya pengawasan, penuh dengan oknum-oknum koruptor. Dan mereka bebas menyalah gunakan kekuasannya, karena oknum-oknum KPK kebal hukum. Usaha Ketua Komisioner Antasari Azhar memberantas korupsi di KPK gagal total, akibat tuduhan rekayasa pembunuhan atas dirinya.
14. Temuan Pansus DPRRI. Terdapat 36 dijadikan tersangka tanpa didukung dua saksi atau tanpa bukti. Di antaranya Jenderal Pol Budi Gunawan yang dianggap oleh Abraham Samad sebagai penghalang niatnya untuk jadi wakil Presiden. Termasuk Bapak Hadi Poernomo yang Ketua BPK yang memberi masukan kepada DPR mengenai penyelewangan keuangan oleh BPK. Kedua mereka mengalahkan KPK dalam gugatan Praperadilan di PN Jakarta Selatan. Akhirnya Abraham Samad diberhentikan Bapak Presiden karena tersandung dugaan perkara pidana. Nasib yang sama dialami Komisioner Bambang Widjojanto dalam kasus dugaan merekayasa saksi palsu. Keduanya sampai mati menyandang status tersangka, karena nama mereka tidak pernah direhabilitasi. Yang beruntung adalah Bambang Widjojanto, yang sekalipun tersangka masih menikmati uang negara sebagai bagian dari TGUPP di DKI Jakarta karena dipercayai oleh Gubernur Anies Baswedan. Mungkin untuk menjaga siapa tahu KPK mulai menyelidiki dugaan kasus korupsi Pak Gubernur.
15. Ketika di Singapura dan Bogota, saya mendampingi M. Nazaruddin klien saya, saya banyak mendengar dugaa korupsi oknum-oknum tertentu yang menghubungi Nazaruddin untuk ngobyek, termasuk oknum-oknum KPK. Itu sebabnya di satu kesempatan Nazaruddin menulis surat kepada Presiden SBY agar kasusnya jangan direkayasa politik. Karena saya tahu banyak, KPK menolak kehadiran saya membela M. Nazaruddin di pengadilan. KPK berhasil, karena tanpa saya, kelihatannya M.Nazaruddin berhasil dijinakkan oleh KPK. Banyak fakta hukum yang tadinya waktu saya terima konsultasi beliau di Singapura dan Bogota, Kolumbia, tidak diungkap oleh Nazaruddin.
16. Saya termasuk salah seorang Pengacara yang melalui buku-buku saya berani membongkar dugaan korupsi KPK. Itu sebabnya ketika Advokat saya, Gary di OTT di Pengadilan TUN Medan tanggal 9 Juli 2015 tanpa pengetahuan saya, saya yang bukan OTT ditangkap di Jakarta tanpa BAP, tanpa bukti suap, lansung dimajukan ke pengadilan, dituntut KPK 10 tahun, sedang Advokat Gary hanya 2 tahun. Betapa dendamnya KPK yang korup terhadap saya. Semua praktisi tahu, bahwa tidak mungkin ada suap untuk perkara saya yang dikalahkan.
17. Sebagai praktisi saya banyak membongkar kasus korupsi dan kasus-kasus dugaan pidana yang dilakukan oleh oknum-oknum KPK. Baik melalui buku-buku saya, tulisan-tulisan di media atau melalui gugatan saya di Pengadilan. Walaupun saya tak punya saluran media, saya tetap lantang menyuarakan oknum oknum KPK dan simpatisannya yang terlibat pidana. Saya yakin satu waktu kelak ada di antara mereka yang akhirnya harus dipenjarakan, termasuk Novel Baswedan, dan Prof, Denny Indrayana, yang terjerat kasus dugaan korupsi payment gateway saat menjabat Wamenkumham.
18 Kebebasan berpendapat. Lahirnya orde reformasi ditandai dengan lahirnya kebebasan berpendapat. Orang lupa bahwa undang-undang memberikan pembatasan. Buku kedua KUHP, Bab 1 dan 2 mengatur kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan-kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Sedang pasal 107b .”Barangsiapa yang secara melawan dimuka umum dengan lisan, tulisan
dan atau melalui media apapun menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (duapuluh ) tahun.”
19. Atas dasar pasal-pasal tersebut pada angka 18 maka ketika HRS di depan umum berpidato
mengkonfirmasikan bahwa “ Pancasila ada di pantat “ sebaiknya laporan polisi Sukmawati Soekarno Putri ke Bareskrim tertanggal 27 oktober 2016 dilanjutkan ke pengadilan. Bukan saja Sukmawati yang merasa ayahnya Presiden Soekarno sebagai pencetus lahirnya Pancasila yang dilecehkan, tetapi Dwi Ria Latifah, anggota DPR-RI juga langsung merasa dilecehkan, termasuk seluruh anggota PDI Perjuangan. Provokasi HRS yang jelas menghendaki berdirinya Negara Islam, mengancam NKRI yang Bhineka Tunggal Ika.
Sudah sejak semula Presiden Soekarno dan the founding father menolak dimasukkannya Piagam Jakarta ke dalam Pancasila. NKRI bukan Negara Agama. Seandainya FPI, HTI dan semua pengikut HRS mengamini bahwa Pancasila ada di pantat, pantaskah menempatkan Pancasila di pantat ? Begitu hinanya kah Pancasila yang kita hargai sehingga HRS menyamakannya seperti pantat manusia? Semoga Bareskrim melanjutkan laporan pidana Sukmawati Soekarno Putri.