JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – SETARA Institute meminta PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V mematuhi prinsip utama dalam bisnis berkelanjutan dan hak asasi manusia (HAM), yaitu free, prior, inform-consent atau persetujuan dengan informasi awal tanpa paksaan.
Dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (19/11/2021), Ketua SETARA Institute, Hendardi, menyebutkan, prinsip dimaksud harus tercermin dalam kemitraan yang setara antar para pemangku kepentingan. Prinsip bisnis tersebut harus dipatuhi PTPN V yang berlokasi di Provinsi Riau dalam mengelola kemitraan dengan petani plasma.
Hendardi menilai apa yang terjadi justru sebaliknya. PTPN V gagal memenuhi kewajiban standar-standar yang telah ditetapkan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun Panduan Prinsip-prinsip PBB untuk Bisnis dan HAM (UNGPs).
“PTPN V sejak 2018 memperoleh sertifikasi dari International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) serta RSPO karena dianggap memenuhi (compliance) standar sustainability serta komitmen bisnis dan HAM sebagaimana digariskan oleh UNGPs,” katanya.
Dengan sertifikasi tersebut, menurut Hendardi PTPN V telah menikmati harga premium dari penjualan atas produk sawit dengan keuntungan puluhan miliar per tahun.
“Namun demikian, jika ditelisik lebih dalam, PTPN V ternyata masih mempraktekkan cara-cara bisnis yang tidak sepenuhnya sejalan dengan standar-standar yang menjadi acuan pemberian sertifikasi tersebut,” sebut Hendardi.
Saat ini annual surveillance audit atau penilaian sedang dilakukan oleh RSPO. Kegiatan ini merupakan audit tahunan untuk kembali memeriksa apakah PTPN V masih layak memperoleh sertifikasi RSPO, atau sebaliknya ditemukan standar-standar yang tidak lagi dipenuhi.
“Dengan begitu bisa saja hasil audit akan merekomendasikan peninjauan ulang sertifikasi RSPO atau hanya akan memperoleh partial compliance, sehingga PTPN V harus kembali memperbaiki sustainability policy dan mempraktikkannya secara serius,” ujarnya.
“Bagaimana mungkin, PTPN V memperoleh sertifikasi RSPO, padahal sejumlah koperasi yang menjadi mitra PTPN V mengalami berbagai pelanggaran HAM, dan PTPN V dinilai tidak mengelola keuangan kemitraan secara transparan,” sambung Hendardi.
Selain itu, lanjutnya, PTPN V telah membentuk koperasi-koperasi tandingan, bahkan diduga menggunakan tangan-tangan penegak hukum untuk mengkriminalisasi petani.
“Dengan demikian, sertifikasi RSPO yang diperoleh PTPN V bisa jadi hanya basa-basi karena berhasil menutupi keburukan-keburukan perusahaan yang sudah belasan tahun terus disembunyikan,” sebut Hendardi.
RSPO itu sendiri bekerja berdasarkan portofolio yang di-submit oleh PTPN V serta mewawancarai orang-orang yang juga diduga telah ditunjuk dan didesain oleh PTPN V sebagai pihak yang diaudit (auditee).
“Dengan cara kerja ini, wajar PTPN V bisa memoles citra positif di atas kertas,” kata Hendardi.
Ia mengungkapkan, Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) yang beranggotakan 997 saat ini tengah memperjuangkan hak-haknya yang dirampas PTPN V adalah contoh paling nyata bagaimana prinsip bisnis dan HAM dilanggar.
“Alih-alih mengadopsi model penyelesaian konflik sebagaimana rekomendasi lembaga sertifikasi internasional, PTPN V lebih memilih jalan pintas yang justru mempertegas bahwa PTPN V adalah salah satu entitas bisnis terdepan yang melanggar HAM,” katanya.
Masih menurut Hendardi, selain Kopsa M, nasib sama juga dialami oleh sejumlah koperasi lain. Ada Koperasi Iyo Basamo, masyarakat adat Pantai Raja dan lain-lain yang semuanya dinyatakan oleh Audit Keuangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas PTPN V tahun 2005 sebagai kemitraan yang bermasalah dan menuntut penyelesaian.
“Para auditor RSPO mesti jeli menangkap fakta lapangan. Jika RSPO bekerja hanya berdasar pada data yang sudah disulap, maka integritas RSPO akan bernasib sama seperti sertifikasi yang diproduk oleh Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang akhirnya tidak dipercaya publik,” ucapnya.
SETARA Institute itu sendiri adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) berbasis di Indonesia yang melakukan penelitian dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik dan hak asasi manusia.
Terkait hal ini, pihak PTPN V belum dapat dikonfirmasi.(*)