Hemmen
Hukum  

Umrahkan Korban First Travel Jadi Kredit Poin Pemerintah di Mata Rakyat

Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M.
Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M. (Foto:istimewa)

“Tanggungjawab pemerintah dalam kasus First Travel bisa menjadi kredit poin tersendiri di mata rakyat. Inilah saatnya negara hadir bagi warga negaranya.” 

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Penasihat hukum jemaah korban First Travel (FT), Dr. TM. Luthfi Yazid, SH, LL.M, kembali mengingatkan pemerintah agar hadir membantu para jemaah yang gagal diberangkatkan oleh perusahaan jasa travel umrah tersebut.

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

“Tanggungjawab pemerintah dalam kasus First Travel bisa menjadi kredit poin tersendiri di mata rakyat. Inilah saatnya negara hadir bagi warga negaranya,” kata Luthfi Yazid kepada Sudutpandang.id di Jakarta, Rabu (11/1/2023).

Advokat senior ini mengungkapkan, sekalipun Mahkamah Agung (MA) mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) pengembalian aset FT kepada para korban, namun sampai saat ini, lebih dari 3.000 korban agen perjalanan umrah itu belum menerima apa pun. Padahal, putusan MA itu dikeluarkan pada Agustus 2022 lalu.

“Kasus jemaah korban FT yang sampai saat ini masih belum ada jalan keluarnya. Bahkan sejak putusan PK itu dikeluarkan, belum ada unggahan resmi dari MA yang menyatakan isi putusan itu. Oleh karena itu, kami mendesak MA untuk menggugah putusan itu sehingga para korban bisa mengetahui isi putusan dan mengambil langkah selanjutnya,” ungkap Luthfi Yazid.

Ia menyebut kasus FT itu sendiri adalah kasus penipuan yang heboh pada 2017 karena menjerat hingga ribuan korban. Perusahaan jasa travel umrah itu menghimpun dana jemaah dengan skema Ponzi.

Ketiga bos FT, yakni Andika Surachman divonis Pengadilan Negeri (PN) Kota Depok dengan hukuman 20 tahun penjara, Anniesa Desvitasari Hasibuan divonis 18 tahun penjara, dan Siti Nuraida Hasibuan divonis 15 tahun penjara. Sementara asset perusahaan itu tidak dikembalikan ke jamaah, tapi dirampas untuk negara.

“Atas putusan Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 tertanggal 31 Januari 2019 itu, dimana asset FT dirampas dan disita untuk negara tersebut, muncul banyak kecaman, sebab asset perusahaan itu bukan merupakan dana korupsi, melainkan dana para jamaah yang jumlahnya sekitar 63.310 jamaah yang telah menyetor ke FT,” beber Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.

“Dana jamaah umrah yang jumlahnya hampir Rp1 Triliun itulah yang diselewengkan oleh Andika Cs untuk membeli restaurant di London, plesiran, mengadakan fashion show di New York dan lain-lain,” sambung pengacara pro bono alias cuma-cuma yang peduli nasib korban FT.

Ia mengharapkan jemaah untuk tidak terlalu berharap pada aset FT yang terlalu sedikit, kecuali pemerintah turun tangan sebagai pemberi izin perusahaan jasa pemberangkatan ibadah umrah tersebut.

Sebelumnya, lanjutnya, para jemaah berbondong-bondong mendaftar sebagai calon jemaah umrah ke FT. Mereka menilai FT merupakan perusahaan Penyelenggara Pelaksanaan Ibadah Umroh (PPIU) yang dijamin oleh negara sebagai PPIU yang sehat.

“Tetapi karena FT gagal memberangkatkan ribuan jamaah, maka pemerintah harus pula bertanggungjawab terhadap kegagalan memberangkatkan jamaah tersebut. Akhirnya, melalui PK sebagai upaya hukum luar biasa, asset FT dikembalikan kepada jamaah. Tetapi bagaimana mekanisme pengembaliannya kepada puluhan ribu jamaah dipastikan rumit dan ruwet,” ungkap Luthfi Yazid.

Solusi

Ia mengemukakan, kerugian FT dengan 63.310 jemaah mencapai sekitar Rp 1 Trilliun. Jadi, menurutnya, sangat beralasan pemerintah untuk turun tangan.

“Sebagaimana pemerintah turun tangan dalam kasus PT Lapindo Brantas, PT Bank Century dan PT Jiwasraya dimana negara menalangi para korban,” kata Wakil Ketua Dewan Penasehat Indonesian Association of British Alumni (IABA) itu.

Founder of Jakarta International Law Office (JILO) itu menyatakan ada banyak skema solusi yang dapat dipikirkan oleh pemerintah untuk membantu memberangkatkan jemaah korban FT ke Tanah Suci dengan menekan biaya pelaksanaan ibadah tersebut.

“Adapun upaya untuk menambah kekurangan, bisa saja asset FT atau Andika Cs ditelusuri lagi sampai tuntas, karena mungkin masih ada yang disembunyikan atau dialihkan ke pihak lain, namun dilakukan secara tidak legal sehingga mesti dibatalkan,” pungkas Luthfi Yazid yang juga salah satu pendiri Japan Indonesian Lawyers Association (JILA).(PR/01)

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan