“KAI berharap agar pembentukan hukum harus dikaji dengan maksimal memenuhi nilai-nilai jiwa (volksgeist) bangsa dan memenuhi landasan pembentukan undang-undang baik landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Sehingga pemberlakuaan undang-undang yang baru dapat diterima masyarakat, dan kualitas penegakan hukum di masa datang berjalan dengan lebih baik.”
JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (DPP-KAI) menyampaikan catatan hukum akhir tahun 2022. Dalam catatannya, DPP KAI menyoroti tiga peristiwa hukum yang menarik perhatian publik. Pertama, disahkannya KUHPidana baru oleh DPR-RI pada 6 Desember 2022 lalu.
“Kedua, soal pemerintah yang terlihat dalam membungkam kritik dari pihak yang berseberangan masih menggunakan pendekatan yang diduga kriminalisasi terhadap si pengkritik. Kemudian yang ketiga, peristiwa penembakan yang berakibat meninggalnya Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J,” ujar Presiden DPP KAI Erman Umar, dalam keterangan pers, Senin (26/12/2022).
Berikut catatan hukum DPP-KAI selengkapnya yang diterima redaksi:
Pada tahun 2022 ini DPP KAI memperhatikan dan mencatat beberapa peristiwa hukum yang menonjol dan menarik perhatian publik yang tinggi. Pertama, disahkannya UU KUHPidana yang baru oleh DPR RI pada tanggal 6 Desember 2022. Disahkannya UU KUHPidana tersebut menuai kontroversi, karena UU tersebut dianggap membelenggu Hak Asasi Manusia, hak-hak masyarakat dalam berpendapat di Negara Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi. Padahal perjuangan untuk mengganti KUHPidana peninggalan kolonial Belanda tersebut telah berlangsung lama, hampir 50 tahun dan berganti-ganti masa pemerintahan sejak zaman Presiden Soekarno, dengan harapan KUHPidana yang dihasilkan oleh bangsa dan pemerintah sendiri akan menghasilkan KUHPidana yang lebih baik disbanding KUHPidana produk Penjajah Belanda, ini menjadi dilema.
Dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh PWI atas disahkannya KUHPidana yang baru tersebut, dengan narasumber antara lain: Prof Bagir Manan (Mantan Ketua Mahkamah Agung RI dan Mantan Ketua Dewan Pers), Atal S Depari (Ketua Umum PWI), Wina Armada Sukardi (Pakar Hukum Pers dan Advokat), Al Araf (Dosen Universitas Brawijaya dan aktivis HAM). Dari pendapat keempat narasumber tersebut dapat disimpulkan KUHPidana yang disahkan tersebut bermasalah, lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan yang berpotensi terjadi kesewenang-wenangan dan kriminalisasi terhadap masyarakat yang kritis terhadap pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut, pihak pemerintah dan penegak hukum terkait perlu segera mensosialisasikan aturan tersebut. Jika ternyata nanti penerapan KUHPidana tersebut banyak terjadi pelanggaran HAM, kesewenang-wenangan terhadap kebebasan masyarakat dalam berpendapat, maka KUHPidana tersebut harus di revisi.
Kedua: Pemerintah terlihat dalam membungkam kritik dari pihak yang berseberangan masih menggunakan pendekatan yang diduga kriminalisasi terhadap si pengkritik. Fakta ini terlihat dari kasus yang menjerat Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga dan mantan kader Partai Demokrat. Roy Suryo didakwa dengan dakwaan berlapis. Pasal 28 UU ITE Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana menyebarkan informasi yang tidak benar terkait rencana kenaikan harga ticket Candi Borobudur, kedua dianggap karena melukai perasaan atau perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia, ketiga dianggap menyiarkan kabar tidak pasti atau berlebihan atau yang tidak lengkap yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat.
Roy Suryo dalam persidangan mengungkapkan, bahwa asal mula Tweet yang dia unggah menggunakan fitur “Multi Quote Tweet” melalui akun pribadinya pada 10 Juni 2022 lalu. Tweet itu kata dia, tidak bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu maupun kejahatan berbau SARA. Tujuannya dengan semangat urun rembug dalam betuk kritik kepada pemerintah dan satire kepada netizen pembuat meme. Di samping itu unggahan tersebut diniatkan untuk membantu menyuarakan keresahan masyarakat, termasuk umat Buddha terkait rencana kenaikan tarif masuk Candi Borobudur. Bahwa upaya kriminalisasi terhadap para pengkritik kebijakan pemerintah tersebut. Jika terus dilakukan, maka akan dapat menggerus kedudukan Negara kita sebagai sebuah Negara Demokrasi.
Ketiga: Peristiwa penembakan yang berakibat meninggalnya Ajudan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, alm Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Dalam peristiwa tersebut yang diduga pelakunya yang dijadikan tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri dengan dakwaan Pasal 340 KUHP, Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan dilanjutkan sebagai terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum di depan persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, Richard Eliezer, Ricky Rizal Wibowo dan Kuat Maaruf (sopir keluarga Ferdy Sambo).
Dalam penanganan peristiwa terbunuhnya Joshua ini juga berakibat disidangkannya secara Kode Etik beberapa personel polisi staf di Propam dan Penyidik di Polres Metro Jakarta Selatan, karena mereka diduga tidak menangani perkara tersebut secara tidak professional, bahkan juga ada beberapa staf Propam yang didakwa melakukan obstruction of justice, penghalangan proses keadilan yang saat ini perkaranya secara bersamaan disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Baik KAI maupun banyak pengamat hukum menilai penanganan perkara kematian Alm Joshua ini oleh pihak Polri menjadi ujian berat bagi instansi Polri sebagai penegak hukum. Karena disebabkan begitu lamanya penanganan perkara tersebut secara tidak benar. Pihak Polri dapat juga menyelesaikan penyidikan perkara tersebut secara professional walaupun telat, dan sekarang proses perkaranya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah mendekati proses akhir, yang diperkirakan pada akhir bulan Januari tahun 2023 Majelis Hakim sudah membacakan putusannya.
Perhatian publik atas perkara terbunuhnya Alm Joshua ini sangat tinggi sekali, kita tidak bisa menghindari opini publik terhadap masing-masing terdakwa sesuai dengan kaca mata dan keawaman masing-masing publik menilainya. Dalam konteks ini, apapun penilaian publik terhadap perkara ini, yang perlu dijaga adalah objektifitas Majelis Hakim dalam memeriksa perkara ini yang harus berpatokan atas bukti-bukti yang terungkap dalam fakta persidangan, bukan opini yang berkembang di luar persidangan.
Berdasarkan catatan hukum akhir tahun 2022 yang dikemukakan tersebut di atas, KAI berharap agar pembentukan hukum harus dikaji dengan maksimal memenuhi nilai-nilai jiwa (volksgeist) bangsa dan memenuhi landasan pembentukan undang-undang baik landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Sehingga pemberlakuan undang-undang yang baru dapat diterima masyarakat, dan kualitas penegakan hukum di masa datang berjalan dengan lebih baik. Serta dalam menghadapi pesta demokrasi negara kita tahun 2024 ini perlu dikawal dan diantisipasi mengingat Pileg dan Pilres sudah dekat, dan agar terhindar dari segala bentuk kecurangan untuk mendapatkan kekuasaan.
Jakarta, 26 Desember
Dewan Pimpinan Pusat
Kongres Advokat Indonesia (The Congress of Indonesian Advocates)
Erman Umar, SH Hetyman Jansen P.S., SH.
Presiden Sekretaris Jenderal