“Surat persetujuan tindakan kedokteran tidak diterapkan sebagai “suatu perikatan khusus tindakan medis” serta tidak dipandang sebagai alat bukti kuat dan sah menurut ketentuan pasal 45, Pasal 51 UU No. 29/2004 tentang PK Jo. Permenkes No. 290/2008 sehingga pengaturan persetujuan tindakan kedokteran tidak berkepastian hukum sesuai asas Lex Spesialis Derogat Legi Generali.”
Oleh: Dr. Najab Khan, S.H., M.H.
A.Pendaduluan
Setiap tindakan medis (tindakan kedokteran) wajib mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pasien, tetapi apakah setiap persetujuan tindakan kedokteran (Informed Consent) merupakan fondasi terwujudnya tindakan medis ?. Pertanyaan demikian memang tidak mudah dijawab dan akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Artinya “jika tidak ada persetujuan tindakan kedokteran” apakah “otomatis berarti tidak ada bukti kuat dan sah” untuk dapat membenarkan upaya tindakan medis dokter terhadap pasien sesuai SP, SOP dan kebutuhan medis pasien ? atau mana yang lebih utama antara kebutuhan pasien memberi persetujuan tindakan medis setelah dijelaskan dengan dibandingkan kebutuhan melakukan tindakan medis itu sendiri oleh dokter ?.
Menurut ketentuan Pasal 45 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU No. 29/2004 tentang PK), adanya “Informed Consent pada keadaan pasien sadar merupakan fondasi bagi terwujudnya tindakan medis tetapi pada keadaan pasien tidak sadar karena mengalami keadaan gawat darurat maka “tindakan medis lah” yang paling diutamakan daripada permintaan persetujuan kepada pasien. Oleh ketentuan Pasal 4 Permenkes No. 290/MenKes/Per/III/2008, tanggal 26 Maret 2008 (Permenkes No. 290/2008) disebutkan dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan / atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Selanjutnya setelah dilakukan tindakan medis maka dokter wajib segera memberi penjelasan kepada pasien/ keluarga.
Mengapa dimungkinkan demikian ?. Karena tindakan medis dokter terhadap pasien dalam keadaan sadar atau dalam keadaan gawat darurat erat kaitannya dengan filosofi dokter dalam praktik kedokteran yaitu “menolong pasien bukan mencelakakan pasien” dan kebutuhan medis pasien tidak semata-mata digantungkan hanya pada syarat formal persetujuan. Berangkat dari gambaran di atas, dapat diformulakan : Hubungan dokter pasien dalam “persetujuan tindakan kedokteran” yang terkonsep “sebagai perikatan upaya tindakan medis”, sebaiknya diterapkan tidak menyimpang dari Asas Lex Specialis Derogat Lege Generali. Hal demikian disebabkan “persetujuan tindakan kedokteran” maupun penerapan asas hukum tersebut membutuhkan konsistensi dan kepastian hukum.
Dalam banyak kasus terkait sengketa praktik kedokteran, terdapat fakta “hubungan pasien-dokter” sekalipun sudah diikat dengan persetujuan tindakan kedokteran sering bermasalah, tidak harmoni dan hakim perdata pun berbeda-beda dalam membuat pertimbangan maupun putusannya. Ketidakharmonian tersebut dalam beberapa literarur, ditandai oleh 2 (dua) era : a) Era sebelum berlakunya UU No. 29/2004 tentang PK dan b) Era sesudah berlakunya UU No. 29/2004 tentang PK. Di era sebelum berlakunya UU No. 29/2004 tentang PK, digambarkan sebagai era yang tidak seimbang, tidak berkepastian hukum baik menyangkut hak maupun kewajiban pasien-dokter ataupun menyangkut penegakan hukum praktik kedokteran karena waktu itu Indonesia dipandang belum memiliki UU No. 29 / 2004 tentang PK.
Konsekwensinya, praktik penegakan hukum di era itu digantungkan pada ketentuan yang diatur dalam KUHP, KUHPerdata, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan atau pedoman pedoman etik kedokteran. Berbeda dengan era setelah berlakunya UU No. 29 / 2004 tentang PK, masyarakat berharap tercipta kepastian hukum dan terjamin “perlindungan hak maupun kewajiban pasien-dokter dalam suatu tindakan medis karena persetujuan tindakan kedokteran sudah diberi porsi pengaturan dalam UU”.
Setelah berlakunya UU No. 29 / 2004 tentang PK ternyata belum juga tercipta kepastian hukum sehingga banyak kasus hukum praktik kedokteran muncul di Pengadilan Perdata umum terutama terkait pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran.
B. Permasalahan
- Bagaimana persetujuan tindakan kedokteran diterapkan dalam asas Lex Specialis Derogat Lege Generali menurut prinsip kepastian hukum dan bagaimana pula kekuatan pembuktiannya ?.
- Bagaimana idealnya sistem pembuktian perkara perdata (positive wetelijk stelsel) diterapkan oleh hakim perdata dalam sistem peradilan perdata Indonesia yang belum memiliki lembaga peradilan khusus penyimpangan hukum praktik kedokteran (Malpraktik hukum kedokteran)?.
C. Teori dan Konsep Informed Consent
Guna mengkaji beberapa pertanyaan terkait persetujuan tindakan kedokteran dan pelaksanaannya sebagai perikatan upaya tindakan medis (perikatan khusus), kiranya perlu terlebih dahulu memperhatikan “skema teori maupun konsep” terkait perikatan, perjanjian, kontrak, persetujuan baik menurut KUHPerdata maupun menurut hukum praktik kedokteran dihubungkan dengan berlakunya asas Lex Specialis Derogat Lege Generali.
D. Makna, manfaat, tujuan dan fungsi