Hemmen

Informed Consent Merupakan Fondasi Tindakan Medis Kah?

Dr. Najab Khan, S.H., M.H.

Persetujuan tindakan dan pelaksanaan tindakan kedokteran akan dipandang mengandung unsur pelanggaran praktik kedokteran jika diawali dan terdapat potensi dugaan pelanggaran aspek etik seperti diatur dalam KODEKI dan biasanya metode penegakkannya diajukan ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) sesuai ketentuan Pasal 68 UU No.29/2004 tentang PK atau jika terdapat potensi dugaan pelanggaran aspek disiplin seperti diatur dalam Perkonsil dan biasanya tata cara atau mekanisme penegakannya diajukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sesuai ketentuan Pasal 66 ayat 1, ayat 2 UU No. 29 / 2004 tentang PK. Demikian pula, jika terkait dengan unsur pelanggaran norma hukum, biasanya terbagi menjadi dua aspek dugaan pelanggaran norma hukum yaitu pelanggaran norma hukum perdata dan hukum pidana. Unsur pelanggaran norma hukum keperdataan dapat tergambar antara lain dalam ketentuan dasar Pasal 45, Pasal 51, atau Pasal 39 UU No. 29/2004 tentang PK, atau tergambar dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan metode penegakannya diajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri berwenang (Pasal 66 ayat 3).

BACA JUGA  PTKP Rp 500 Juta Pajak UMKM, Dapatkah Mendorong Stabilitas Ekonomi Nasional?

Sedangkan jika terkait unsur pelanggaran norma hukum pidana dapat terlihat pada ketentuan pengaturan Pasal 45, Pasal 51, Pasal 75 s/d Pasal 80 UU No. 29/2004 tentang PK atau dapat terlihat pada uraian mengenai unsur pelanggaran hukum yang tersebar dalam pasal KUHP, seperti Pasal 359, Pasal 351 KUHP dan metode penegakan hukum pidananya melalui laporan polisi sesuai proses dan mekanisme yang diatur dalam KUHAP. Persetujuan tindakan kedokteran jika dihubungkan dengan berlakunya pedoman ketentuan Pasal 45, Pasal 51, Pasal 39, Pasal 66, Pasal 68, Pasal 75 s/d Pasal 80, Pasal 1365 KUHPerdata atau dugaan pasal pelanggaran hukum yang tersebar dalam KUHP (Pasal 359, Pasal 351 KUHP ) maka sekalipun persetujuan tindakan kedokteran dipandang sebagai fondasi tindakan medis tetapi untuk menentukan ada-tidaknya unsur dugaan pelanggaran norma hukum praktik kedokteran tetap digantungkan pada bukti kewajaran dalam melakukan tindakan medis menurut 3 (tiga) ukuran aspek norma yaitu norma etik, norma disiplin dan norma hukum.

H. Pertanggungjawaban Hukum Praktik Kedokteran

Mengacu pada ketentuan pasal hukum perdata, hukum pidana, pedoman KODEKI ataupun pedoman PERKONSIL, maka akan memunculkan pertanyaan, apakah ketentuan yang diatur dalam Informed Consent (persetujuan tindakan kedokteran) dipandang tidak memberi efek positif dan tidak dipandang sebagai alat bukti kuat dan sah atau sebaliknya.

Kalau dilihat pada beberapa pertimbangan dan putusan pengadilan perdata, terlihat jelas alat bukti Informed Consent (persetujuan tindakan kedokteran) yang awalnya dipandang sebagai fondasi terwujudnya tindakan kedokteran ternyata tidak mendapat pertimbangan hukum hakim perdata yang benar dan maksimal sesuai 3 (tiga) unsur pedoman norma tersebut. Bahkan Informed Consent dan dokumen rekam medis yang diwujudkan dalam resume medis atau dokumen lainnya ternyata tidak mendapat pertimbangan hukum yang benar sebagai alat bukti kuat dan sah sesuai prinsip positif wettelijk stelsel ataupun menurut prinsip doktrin hukum “Volenti nonfit Injuria”.

BACA JUGA  OC Kaligis Laporkan Komnas HAM dan Ombudsman ke Bareskrim

Harusnya alat bukti Informed Consent, resume medis, dokumen rekam medis atau dokumen-dokumen terkait SP, SOP, kebutuhan medis pasien dan atau bukti keterangan ahli bidang ilmu pengetahuan praktik kedokteran yang dipersengketakan dipertimbangkan oleh hakim perdata agar “dapat diketahui batasan ada-tidaknya unsur kelalaian atau kesalahan yang dipersengketakan antara pasien dan dokter atau antara pasien dengan tempat sarana layanan kesehatan”. Sebenarnya yang utama wajib mendapat pertimbangan hakim perdata adalah bukan melihat fakta ada tidaknya kematian pasien di tempat sarana pelayanan kesehatan lantas dipertimbangkan sebagai “batas ukuran kelalaian/kesalahan dokter dalam praktik kedokteran”. Basic utama untuk mengukur “batas kelalaian/kesalahan atau kebenaran suatu tindakan medis” tentu wajib dilihat setidaknya dari dua batas pertanggungjawaban.

BACA JUGA  Selamat Jalan Bang Rizal Ramli

Pertama, batas pertanggungjawaban unsur kelalaian/kesalahan hukum dokter/tim dokter sebelum tindakan medis dilakukan. Misalnya, mengukur batas tanggung jawab administrative oleh sarana pelayanan kesehatan sebelum tindakan medis dilakukan dokter seperti penyiapan dokumen-dokumen persetujuan tindakan kedokteran atau dokumen-dokumen lain terkait hasil pemeriksaan fisik dan psikis pasien. Bukti ini wajib diperhatikan dan dipertimbangkan hakim perdata (dasar hukumnya Pasal 17 ayat 2 Permenkes No. 290/2008). Batas pertanggungjawaban administrative ini penting dipertimbangkan karena terkait dengan doktrin pertanggung jawaban vicarious liability jo ketentuan Pasal 58 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan tanggal 13 Oktober 2009 Jo. Pasal 37, Pasal 45, Pasal 46 UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit tanggal 28 Oktober 2009. Kedua, batas pertanggung jawaban unsur kelalaian/ kesalahan saat tindakan medis dilakukan oleh dokter/tim dokter, seperti tanggung jawab atas pelaksanaan tindakan medis dokter/tim dokter, apakah sudah sesuai dengan SP, SOP dan kebutuhan medis pasien seperti tertuang dalam dokumen rekam medis plus dokumen-dokumen lain atau terkait dengan bukti keterangan saksi ahli bidang ilmu pengetahuan kedokteran dasar Pasal 45, Pasal 51 UU No. 29 / 2004 tentang PK Jo. Pasal 17 ayat 1 Permenkes No. 290/2008?. Kedua, batas pertanggungjawaban ini seharusnya mendapat pertimbangan utama dalam setiap putusan hakim perdata karena terkait langsung dengan soal pelaksanaan tindakan medis berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU No. 29/2004 tentang PK.

BACA JUGA  Serahkan Buku, OC Kaligis Kenang Pertemuan dengan Jokowi di Solo

Tanpa mempertimbangkan dua batas pertanggung jawaban ini, omong kosong pertanggung jawaban medis dokter dan tempat sarana layanan kesehatan dapat secara adil ditegakan oleh hakim perdata umum. Memang tidak mudah membawa sengketa medik kepada ranah penegakan hukum perdata praktik kedokteran tetapi lebih tidak mudah lagi atau TIDAK ADIL/TIDAK PASTI jika hakim perdata umum dibiarkan memutuskan perkara sengketa medis dengan cara membuat pertimbangan seakan sama pertimbangannya seperti dalam hubungan hukum perikatan umum Pasal 1234 KUHPerdata maupun seperti pertimbangan dalam mekanisme dan sistem negatif wettelijk stelsel. Sangat tidak bijak menentukan ukuran salah-benarnya dokter/tim dokter dan atau sarana layanan kesehatan dalam “suatu tindakan medis” hanya karena melihat “ada fakta pasien meninggal di tempat sarana pelayanan kesehatan”.

Foto:dok.depts.washington.edu.

Intinya, tindakan medis yang hendak dipertanggungjawabkan oleh dokter dalam sengketa hukum perdata tindakan medis itu sebenarnya dibatasi oleh ada-tidaknya bukti unsur kelalaian/kesalahan hukum yang sengaja dilakukan dokter menurut ukuran pedoman SP, SOP dan kebutuhan medis pasien berdasarkan ketentuan Pasal 45, Pasal 51 UU No. 29 / 2004 tentang PK, Permenkes No. 290/2008 bukan dibatasi/dibuktikan berdasarkan keputusan unsur kesalahan dalam pedoman etik/dalam pedoman PERKONSIL. Berbeda dengan pertanggungjawaban unsur dugaan kelalaian/kesengajaan kesalahan dalam layanan kesehatan ketentuan Pasal 39 UU No. 29/2004 tentang PK yang melibatkan badan hukum Rumah Sakit (tempat sarana layanan kesehatan) tentu diukur dari pedoman yang diatur didalam UU Kesehatan, UU Keperawatan, UU Rumah Sakit, UU Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999.

I. Kesimpulan

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan