Kenaikan Harga Menjelang dan Selama Ramadan, Wajarkah?

Muhammad Akhyar Adnan. Kenaikan harga di bulan Ramadan
Dr. Muhammad Akhyar Adnan.(Foto:Dok.Pribadi)

Oleh Muhammad Akhyar Adnan

Bulan suci Ramadan sudah tiba. Seperti biasa harga sejumlah komoditi pokoknya mulai merangkak naik. Di sisi lain, Pemerintah melalui beberapa Menteri mengatakan: stok pangan aman. Tetapi kenyataan berkata lain: harga tetap melambung, seolah-olah tak terkendali.

Ucapan Selamat Idul Fitri MAHASI

Mungkin sebagian besar anggota masyarakat menganggap hal ini dianggap biasa. ‘Toh’ tiap tahun memang begitu adanya. Begitu pula pandangan Pemerintah lewat pejabat-pejabatnya. Semua dianggap wajar dan lumrah. Tetapi, benarkah demikian?

Secara teori, bagi yang pernah belajar ilmu ekonomi yang paling mendasar pun mesti tahu bahwa kenaikan harga sebuah produk, terutama akibat teori atau “hukum supply dan demand” (penawaran dan permintaan). Singkatnya, harga suatu komoditas akan tergantung pada titik temu (ekuilibrium) garis (kurva) supply dan demand.

Harga akan naik, misalnya, supply tetap dan demand naik. Atau harga akan turun bilamana supply naik dan demand turun. Keseimbangan (ekuilibrium) akan terjaga, manakala posisi supply dan demand bertahan pada posisi yang sama, atau tidak terjadi pergeseran.

Nah, bagaimana dalam Ramadan?

Biasanya akan ada klaim bahwa akibat Ramadan, demand akan naik, sementara supply tetap. Sehingga, ‘dianggap wajar’ bila harga naik!

BACA JUGA  Tri Adhianto Siap Pantau Harga Bahan Pokok Selama Bulan Ramadan

Mari kita analisis. Di luar Ramadan, kebiasaan rata-rata masyarakat makan tiga kali sehari, sedang kan selama Ramadan, karena berpuasa, maka tradisi ini akan berubah.

Mereka yang biasa makan tiga kali sehari, menjadi hanya dua kali sehari. Artinya, justru frekuensi masyarakat berkonsumsi akan turun lebih kurang 30 persen. Artinya tidak terjadi kenaikan, sebaliknya malah ada penurunan.

Bisa dibayangkan bahwa dengan jumlah ummat Islam sebesar 85 persen dari 275 juta penduduk, berapa besar agregat turunnya supply secara nasional.

Kembali kepada teori, jika demand turun, dan supply tetap, maka mestinya yang terjadi adalah penurunan harga. Namun kenyataannya, seperti diungkap di atas, harga-harga naik. Paradoks bukan?

Apa yang disampaikan di atas adalah perspektif makro, atau kacamata besar secara nasional. Bagaimana dalam perspektif mikro?

Suatu hari di bulan Ramadan, penulis pernah bertanya dengan sedikit menggoda seorang pedagang ayam yang menjadi langganan keluarga kalau membeli ayam. “Wah, Mas selama Ramadan, panen dong ya? Permintaan bertambah dan harga juga naik,” ujar penulis kepada penjual ayam tersebut. Apa dan bagaimana reaksinya?

Malah kebalikan sama sekali. “Selama Ramadan, justru penjualan kami turun, Pak!” katanya, merespon pertanyaan atau godaan penulis. Lha, kok bisa?

BACA JUGA  Uten Sutendy : Kang Dedi Mulyadi dalam Tiga Dimensi

“Begini, Pak,” ujarnya melanjutkan. “Banyak kios (pedagang, maksudnya) yang di luar Ramadan membeli dalam jumlah tertentu, sekarang malah mengurangi belanjanya, karena sebagian mereka libur, dan pembeli juga berkurang”.

“Di luar itu pelanggan kami dari segmen rumahtangga, biasanya juga berkurang atau mengurangi pembelian, karena harga yang lebih mahal”. Artinya, aneh dan paradoks lagi, bukan?

Pandangan dua perspektif yang berbeda: makro dan mikro, justru bertolak belakang dari kenyataan yang ada. Bahwa ada kenaikan harga, namun semua di luar nalar atau teori yang selama ini dipahami. Apa artinya ini?

Bukankah ini dapat disebut sebagai kanaikan harga yang bersifat ilusif dan / atau psikologis belaka. Tidak ada teori yang dapat menjelaskan dan diterima nalar sehat, mengapa kenaikan harga terjadi.

Lalu siapa yang bermain dan bertanggung jawab atas gejala aneh ini?.

Sangat patut diduga adalah para pedagang nakal yang melakukan apa yang disebut hoarding atau ihtikar / iktinaz. Hoarding (ihtikar / iktinaz) adalah praktik menumpuk komoditas untuk tujuan mempermainkan harga.

Ini patut diduga dilakukan oleh pedagang yang punya modal besar. Dengan modal besar, mereka bisa melakukan hoarding, untuk kemudian setelah harga barang naik, baru komoditas tersebut dilempar ke pasar, sehingga mereka akan meraup keuntungan yang jauh lebih besar.

BACA JUGA  Masalah Rempang Eco City Bakal Happy Ending, Jokowi: Demi Kepentingan Masyarakat Akan Diselesaikan Secara Baik-baik  

Khusus untuk mengatasi penyakit klise dan kronis ini, tidak ad acara lain kecuali Pemerintah yang harus turun tangan, mulai mendeteksi (gejala), melakukan analisis hingga melakukan tindakan nyata, seperti menangkap para pelaku hoarding / ihtikar / iktinaz, dan menghukum mereka dengan berat karena telah mengganggu ketenangan masyarakat.

Mestinya Pemerintah tidak boleh sama sekali menguatkan dengan mengatakan bahwa ini biasa setiap Ramadan datang. Sikap dan pandangan Pemerintah semacam ini sungguh menggambarkan kebodohan belaka, atau tidak bisa menganalis secara kritis, karena semuanya dapat dibaca dengan mudah. Tinggal sekarang, apakah ada kemauan atau tidak.

*Dr. Muhammad Akhyar Adnan adalah Dosen Prodi Akuntansi FEB Universitas Yarsi.