Hemmen

Menyikapi Vonis Sambo

Dok.SP

“Apakah politik hukum kita lebih mementingkan rasa keadilan daripada kepastian hukum, seperti yang sudah dipraktikkan oleh hakim Wahyu Iman Santoso atau hakim Sarpin Rizaldi”. Semuanya tentu kembali kepada keberpihakan kita pada rakyat beserta kesejahteraannya.”

Oleh Muhammad Yuntri
Praktisi Hukum di Jakarta

Vonis “mati” dari hakim Wahyu Iman Santoso, Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang langsung diketuknya setelah menyebut mati, baru kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan beberapa perintah kepada Jaksa untuk menyelamatkan barang bukti dan memerintah terdakwa tetap dalam tahanan. Ferdy Sambo dinyatakan terbukti bersalah atas rangkaian perbuatan pembunuhan Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, anak buahnya sendiri atas pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan obstruction of justice (penghalangan proses hukum).

Yang menarik dari semua rangkaian persidangan para terdakwa pembunuhan berencana tersebut, adalah vonis untuk Richard Eliezer, eksekutor penembak Joshua, yaitu 1 tahun 6 bulan penjara. Saat vonis dijatuhkan oleh hakim yang sama, bukannya ditolak karena terlalu ringan oleh masyarakat, melainkan diterima dengan sukacita dan suasana riuh gempita, baik di dalam maupun di luar ruang persidangan. Bahkan ada yang mengumandangkan lagu “Indonesia Raya.” Suasana gembira dan tangisan sukacita terlihat sumringah dari para pengunjung dan para fans Eliezer. Apa gerangan yang tersirat dalam kasus Sambo ini?.

Beberapa terdakwa vonisnya bersifat ultra petita termasuk terhadap Sambo, karena melebihi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya menuntut seumur hidup, sedangkan hakim memvonisnya mati. Ketentuan Ultra Petita itu hanya berlaku untuk perkara perdata yang diatur pada Pasal 178 (2) HIR. Sedangkan untuk kasus pidana hakim secara independen tidak perlu tunduk pada ketentuan tersebut guna mewujudkan rasa keadilan masyarakat sebagaimana maksud-tujuan diadakan UU itu.

Rasa Adil atau Kepastian Hukum

Seorang rekan Advokat yang ikut dalam tim pembela salah satu terdakwa, secara nyeleneh berkata bahwa hakim dalam kasus ini tidak peduli dengan kepastian hukum. Mestinya ada terdakwa yang harus dibebaskan, karena berani menolak perintah Sambo untuk menembak Joshua, tapi tetap dihukum berat 12 tahun penjara. Apalagi tidak dilakukannya uji balistik secara teliti terhadap senjata yang dipakai untuk menembak Joshua itu. Diduga ada beberapa proyektil lain selain yang keluar dari senjata jenis Glok 7 dipakai menembak Joshua. Kesaksian Eliezer dalam persidangan mengatakan, Sambo pun ikut menembak pada belakang kepala Joshua yang sudah tertunduk lunglai. Jenis senjata dan proyektil yang dipakai Sambo tidak dibuktikan dalam persidangan, kata rekan itu. Bahkan Ricky Rizal pun yang berjarak 2 meter dari Sambo, mengaku tidak melihat penembakan oleh Sambo. Dimana kepastian hukumnya?, kata dia dengan nada serius.

Atas pendapatnya itu, penulis menimpali bahwa dalam kasus ini mungkin rasa keadilan majelis hakim lebih utama dari pada kepastian hukum tersebut. Apalagi rasa keadilan masyarakat umum yang ingin tahu sikap hakim dan dampak yang bakal terjadi di kemudian hari jika Sambo tidak dihukum seberat mungkin.

Sedikit polemik terjadi di antara kami saat berdiskusi. Penulis pun mencontohkan bahwa tahun 2015 seorang hakim Sarpin Rizaldi juga melanggar kepastian hukum yang mengabulkan gugatan praperadilan Budi Gunawan di PN Jakarta Selatan yang berusaha membenarkan kategori tersangka sebagai objek dari gugatan praperadilan yang selama ini bukan ranah dari prapid tersebut sebagaimana diatur pada pasal 77 juncto 82 ayat (1) juncto 95 ayat (1) dan (2) serta Pasal 1 angka 10 KUHAP secara limitasi. Nyatanya, terobosan hakim Sarpin tersebut malah diterima sebagai terobosan hukum dengan pertimbangan rasa keadilan dan rasa kemanusiaan bagi si tersangka. Bahkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 pada tahun 2015 menguatkannya untuk dijadikan sebagai jurisprudensi tetap. Padahal sejatinya hukum pidana itu tidak boleh dianalogikan/ditafsirkan seperti halnya perkara perdata. Dengan kondisi baru tersebut akan bisa merubah cara berpikir seorang aktivis sebagai agent of change menjadi seperti Positivistik, yang menawarkan kepada pencari pengetahuan untuk berusaha mencari kebenaran yang berbeda sehingga muncul pemikiran-pemikiran baru. Sebagai dasarnya adalah filsafat hermeneutik (jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena). dan phenomenology (yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena).

Dampak dan Masalah Perbuatan Sambo

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan