E. Pro dan kontra
Putusan MA oleh sebagian ahli hukum tata Negara dipandang tidak ada apa-apanya bahkan dianggap tidak efektif sehingga menimbulkan pro-kontra ditengah masyarakat. Efek dari pandangan ahli seperti demikian, menyeret rakyat ingin melakukan tindak lanjut (eksekusi terhadap putusan MA). Tindak lanjut rakyat terhadap penetapan KPU yang didasarkan pada peraturan KPU bertentangan dengan UU Pemilu.
Dalam tindak lanjut dimaksud, rakyat mempunyai hak mempertanyakan keabsahan Presiden dan Wakil Presiden menjalankan fungsi dan kewajibannya setelah putusan MA.
Masyarakat juga akan terus mempermasalahkan kinerja Komisioner KPU dan membongkar praktik korup selama menyelenggarakan pesta demokrasi demi tegaknya kepastian hukum dan keadilan. Sudah ada satu (1) anggota Komisioner KPU yang terjerat praktik korup, tinggal tunggu giliran yang lainnya.
Memang rakyat Indonesia belum memiliki pengalaman praktik hukum pasca putusan MA No.44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 dikaitkan dengan praktik korup Komisioner KPU atau dikaitkan dengan putusan MK. Sisi tidak ada pengalaman ini hendak dimanfaatkan oleh sebagian ahli hukum bayaran yang bermanufer politik untuk mendegradasi kedaulatan rakyat seakan berada ditangan sindikasi rezim yang korup. Hampir semua ciri penguasa yang sewenang-wenang mudah mengabaikan putusan hakim dan suka memandang praktik penegakan hukum dalam elemen sistem hukum semau pikirannya.
Pemerintah yang sewenang-wenang mudah mengabaikan tatanan Peraturan Perundang-undangan maupun ketentuan UUD 1945 sebagai representasi kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Pemerintah yang sewenang-wenang mudah/suka mengabaikan putusan hakim sebagai pembentuk hukum (Judge Made Law). Contoh putusan MA No.7 P/HUM/2020, tanggal 31 Maret 2020 yang membatalkan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Beberapa kali putusan MA diabaikan dan tidak diindahkan oleh Presiden Joko Widodo dengan berbagai cara (misalnya membuat Perpres baru dan menaikan iuran BPJS kembali padahal Perpres sebelumnya dibatalkan oleh MA). Fakta demikian menciptakan kondisi pro kontra terhadap efektivitas Presiden dan/Wakil Presiden menjalankan fungsi dan kewenangan paska putusan MA.
Oleh sebagian pakar hukum tata negara, hasil Putusan MK No.1/PHPU-PRES/XVII/2019 tanggal 24 Juni 2019 dijadikan alasan untuk mendegradasi putusan MA No.44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 serta dianalisis semau pikirannya tanpa memandang bahwa putusan MA itu sejatinya merupakan putusan yang berbeda konteksnya dengan putusan MK.
Putusan MA merupakan langkah hukum yang efektif dan strategi dalam menggapai proses tegaknya hukum dan keadilan bagi rakyat. Putusan MA tidak menguji Putusan MK tetapi MA punya kewenangan menguji semua peraturan yang dibuat dan diterbitkan KPU atau peraturan yang dibuat Presiden secara sewenang-wenang.
Joko Widodo – Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk menjalankan fungsi Kepresidenan oleh KPU berdasarkan pertimbangan Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No.5 Tahun 2019 tanggal 29 Januari 2019 yang dibatalkan MA tanggal 28 Oktober 2019 karena dipandang melanggar ketentuan Pasal 416 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dus artinya setelah tanggal 28 Oktober 2019, Joko Widodo-Ma’ruf Amin membiarkan dan tetap menjalankan fungsi dan kewenangan sebagai Presiden dan Wakil Presiden dengan dasar penetapan yang pertimbangannya sudah dibatalkan oleh MA.
Fakta demikian merupakan fakta sikap dan perbuatan yang tidak layak/tidak wajar. Kemenangan rakyat yang diwakili Rachmawati Cs menggugat KPU, karena KPU dipandang sewenang-wenang dalam membuat peraturan dan penetapan KPU “tentu membawa efek yaitu otomatis” Peraturan KPU No.5 Tahun 2019 Pasal 3 Ayat (7) maupun pertimbangan hukum penetapan KPU terhadap Presiden dan Wakil Presiden kehilangan legalitas.
Putusan MK No.1/PHPU-PRES/XVII/2019, tanggal 24 Juni 2019 memang memiliki efek terhadap KPU yang menang perkara dengan salah satu Paslon yang tidak puas terhadap hasil kerja KPU tetapi putusan MK tersebut ada batasnya dan tidak menjangkau soal penilaian layak tidaknya Presiden dan Wakil Presiden menjalankan kewajibannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden pasca putusan MA No.44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019. Oleh sebab itu, putusan MK tidak absolut. Sekalipun ada putusan MK yang memenangkan KPU, namun peraturan dan penetapan KPU setelah putusan MK masih perlu ditopang dengan dasar dan pertimbangan penetapan yang sah yang dibuat KPU serta tidak melanggar UU Pemilu.
Putusan MK terbatas dan tidak otomatis menjangkau sampai pada sah tidaknya KPU membuat pertimbangan dan penetapan pleno pada Presiden dan Wakil Presiden. Layak-tidaknya Presiden dan Wakil Presiden agar tetap dapat menjalankan fungsi dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden sangat digantungkan pada sah tidaknya penetapan pleno KPU yang pertimbangannya tidak melanggar UU Pemilu.
Putusan MA ini dapat membawa efek lain terhadap seluruh komisioner KPU yang terlanjur salah membuat peraturan yang dituangkan dalam surat atau berita acara pleno penetapan Presiden dan Wakil Presiden. Dampak kesalahan fatal hasil kerja komisioner KPU tersebut seyogyanya membawa sikap mau bertanggung jawab secara kolektif kolegial yaitu mundur secara terhormat. Mundur dari jabatan Komisioner KPU merupakan hal yang sangat penting dan wajib disadari oleh Komisioner KPU agar rakyat tetap hormat pada lembaga tersebut.
Demikian pula dampak langsung atau tidak langsung terhadap presiden dan wakil presiden yang tidak memiliki dasar pertimbangan peraturan KPU yang sah dan tertuang dalam penetapan KPU merupakan masalah yang sangat serius dan penting disadari, demi menjaga komitmen Presiden dan Wakil Presiden untuk terus taat pada peraturan hukum dan putusan hukum.
Menyikapi masalah yang terkait dengan pasca putusan MA maka fungsi dan kewajiban Presiden atau Wakil Presiden dapat dijalankan atau difungsikan oleh 3 Lembaga Kementerian Negara yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan sesuai ketentuan Pasal 8 ayat 3 UUD 1945.
Pengaturan isi Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 ini sebetulnya merupakan “jalan keluar legacy” terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang kehilangan legitimasinya menjalankan fungsi atau kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Untuk mewujudkan rasa hormat yang tinggi terhadap hukum dan putusan penegak hukum (MA), maka Presiden dan Wakil Presiden perlu mempertimbangkan pengunduran dirinya atau membuat pernyataan berhenti sebelum rakyat bersikap berdasarkan hak kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2), Pasal 28 UUD 1945) dan atau berdasarkan hak rakyat yang tertuang dalam sila keempat Pancasila.
F. Kesimpulan
Putusan MA No.44 P/HUM/2019 tanggal 28 Oktober 2019 merupakan putusan efektif dan untuk tindak lanjut putusannya, rakyat dapat minta eksekusi kepada pihak terkait, baik secara legal approach, Pasal 195, Pasal 196, Pasal 197 HIR maupun melalui political approach, dasar ketentuan sila keempat Pancasila, Pasal 1 ayat (2), Pasal 28 UUD 1945 agar putusan hukum (MA) dapat digunakan rakyat sesuai dasar ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.