Soal Putusan Banding Sengketa Tanah di Pemelisan Agung, Margarito Kamis: Hakim PTTUN Keliru

Soal Putusan Banding Sengketa Tanah di Pemelisan Agung, Margarito Kamis: Hakim PTTUN Keliru
Margarito Kamis.(Foto:Dok.Parlemen)

“Peradilan yang berhak mengecek hanya peradilan TUN. Tidak ada peradilan lain di Indonesia ini yang bisa mengecek atau menguji keabsahan tindakan TUN berupa penerbitan sertifikat.”

DENPASAR, SUDUTPANDANG.ID – Pakar hukum Margarito Kamis berpandangan  bahwa terdapat kekeliruan dari Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Mataram yang menganulir putusan PTUN Denpasar. Menurutnya, Hakim PTTUN tidak memahami permasalahan sehingga menerima permohonan banding.

Kemenkumham Bali

Pandangan tersebut disampaikan pakar hukum Margarito Kamis terkait kasus sengketa tanah di Jalan Pemelisan Agung, Banjar Gundul, Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali.

“Berdasarkan pengetahuan dan data yang saya miliki, ada kekeliruan Majelis Hakim PTTUN dalam menafsir kompetensi mereka,” ujar Margarito dalam keterangannya, Kamis (31/10/2024).

Margarito menyebut terlihat secara nyata bahwa Majelis Hakim tidak paham atau kurang paham mengenai Peradilan TUN. Termasuk tidak cukup paham mengenai tindakan-tindakan TUN.

“Padahal, yang dipersoalkan oleh penggugat adalah soal tindakan administrasi. Dalam hukum administrasi negara, penerbitan sertifikat itu adalah tindakan atau keputusan TUN. Hubungan administrasi di negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009,” paparnya.

Ketentuan tersebut, lanjutnya, mengatur tindakan-tindakan administrasi negara yang terikat pada sejumlah prinsip atau sejumlah asas. Di antaranya adalah asas legalitas, asas kecermatan (cermati, cermat prosedur, cermat fakta, cermat formulir maupun materilnya).

“Soal legalitas, itu berkonsekuensi pada tindakan-tindakan penerbitan sertifikat, apakah sesuai dengan hukum atau tidak,” jelasnya.

Sementara, kata dia, prinsip cermat itu berkonsekuensi pada cermat terhadap prosedur dan cermat terhadap materiil. Substansi atau objek itu berwujud pada apakah diperiksa atau tidak keadaan hukum atas objek yang akan disertifikatkan.

“Pemeriksaan ini diperlukan untuk memastikan, apakah objek yang disertifikatkan itu ada fisik ada faktualnya, apakah ada masalah, hukumnya bersih atau tidak? Ada sengketa atau tidak? diikatkan dengan jaminan atau tidak? dan seterusnya,” tuturnya.

Margarito menyatakan bahwa setiap tindakan TUN mesti memenuhi prinsip-prinsip tersebut. Dalam sistem hukum Indonesia, yang berwenang memeriksa hanya boleh Peradilan TUN.

“Tidak bisa oleh peradilan lain, apapun namanya dan apapun alasannya,” tegas . Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) pada 2006-2007 ini.

Majelis Hakim PTTUN memahami bahwa perkara ini seolah-olah persoalan perdata, karena dilalui dengan perjanjian jual-beli dan lainnya.

Ia mengatakan, padahal dari segi substansi sama sekali tidak ada sangkut paut. Meskipun dalam prinsip penerbitan sertifikat, orang datang mengajukan penerbitan dengan mengatakan bahwa dia mempunyai berbagai hal sebagai syaratnya.

“Nah, pejabat tata usaha negara wajib datang untuk mengecek, memeriksa di buku tanah, apakah di atas tanah ada sengketa?. Misalnya, sudah atas hak atau dikuasai oleh orang atau tidak dalam hal ini sudah dikuasai penggugat Lenny Tombokan,” katanya.

Ia menambahkan, petugas perlu memeriksa batas-batasnya, dari utara, timur, barat, selatan. Hal ini untuk memastikan keterangan yang diberikan oleh orang yang akan mensertifikatkan tanah itu (tergugat), secara objektif benar atau tidak.

“Pertanyaannya adalah apakah dalam kasus ini, sertifikat yang katanya dipecah-pecah oleh tergugat itu dilakukan sesuai dengan prosedur ini atau tidak?. Soal tadi, orang datang mengatakan bahwa saya dapat tanah ini berdasarkan perjanjian begini-begini kan?. itu yang mesti dicek karena ini tidak ada unsur sama sekali dari soal perdata, perdata ini soal lain lagi,” paparnya.

Margarito kembali menegaskan bahwa peradilan yang berhak mengecek hanya peradilan TUN. Tidak ada peradilan lain di Indonesia ini yang bisa mengecek atau menguji keabsahan tindakan TUN berupa penerbitan sertifikat itu.

“Karena peradilan perdata di Indonesia sampai kiamat pun tidak bisa membatalkan sertifikat orang,” ujar peraih gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI) itu.

Masih menurut Margarito, perkara saat ini yang dikoreksi adalah soal keabsahan sertifikat. Dari segi hukum rakyat, tampak seolah ini segi perdata, mengingat sertifikat adalah bukti kepemilikan. Padahal keabsahan sertifikat yang sedang dicek, yang merupakan ranah TUN.

“Di situlah letak kekeliruan konstruksi peradilan seperti tingkat banding dalam kasus ini,” ungkapnya.

Ia mengatakan, kalau Lenny Yuliana Tombokan selaku penggugat tidak menggunakan hak menempuh kasasi, maka telah menundukkan diri dan mengikatkan diri secara sukarela pada putusan Peradilan TUN tingkat banding. Namun, apabila Lenny menggunakan hak kasasi, maka hukumnya kembali kepada hukum awal (Putusan PTUN Denpasar).

“Dengan begitu, karena hukum itu mengikat semua orang, maka bukan hanya Lenny, tapi semua pihak, termasuk yang dinyatakan kalah oleh Peradilan PTUN juga harus tunduk dan terikat pada sistem hukum,” ujarnya.

“Jadi keliru kalau ada yang mengatakan bahwa Penggugat harus tunduk dan taat atau harus meninggalkan lokasi dan segala macam. 1.000 persen pernyataan tidak ada dalih yang dapat dipakai untuk menjustifikasi klaim itu dari segi hukum,” tambah pria kelahiran Ternate Maluku Utara itu.

Sebagai informasi, sengketa ini melibatkan penggugat Lenny Yuliana Tombokan dengan tergugat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Badung serta turut tergugat Erkin Inggriani Tedjokoesoemo, Noer Wahju dan Wanti Setiodjojo.

PTUN Denpasar mengabulkan gugatan Lenny membatalkan sejumlah sertifikat. Namun, pada 17 Oktober 2024 Majelis Hakim PTTUN Mataram pimpinan Evita Mawulan Akyanti menyatakan, menerima permohonan banding pihak tergugat. Kemudian Lenny mengajukan kasasi.(tim)

BACA JUGA  Dinilai Melakukan Perbuatan Melawan Hukum, PDIP Gugat KPU di PTUN