Permasalahan hukum dan politik hukum itu tidak bisa dianalisa secara parsial, tetapi harus dilakukan secara konfrehensif, karena harus dipikirkan dampaknya keberbagai sektor lain yang saling berkaitan satu dengan lainnya.
Pemaksaan dilahirkannya UU Omnibus Law ini, kalau dari sisi pemerintah pusat hanya mengambarkan Das Sollen (hal-hal yang idealnya) saja, kurang mengantisipasi kemungkinan Das Sein (kenyataannya) nanti serta dampak yang ditimbulkannya.
Dengan memaksakan kehendaknya itu, pemerintah pusat sudah mengabaikan eksistensi UU Otonomi Daerah No.33 Tahun 2004, khususnya tentang konteks disentralisasi bagi pemerintah daerah (Pemda) seluruh Indonesia.
Dari 905 halaman UU Omnibus tersebut, menyederhanakan banyak birokrasi dan merevisi lebih kurang 82 UU yang dianggap menghambat masuknya investasi menurut Presiden.
Menurut saya, hal ini jelas KELIRU. Pengamat Faisal Basri mengatakan bahwa secara data statistik Indonesia justru penerima investasi paling tinggi di negara ASEAN saat ini, hanya saja investasinya dalam bentuk padat modal, bukan padat karya. Sehingga keuntungan dari investasi sangat sedikit bagi negara. Investasinya itu dianggap tidak berkualitas.
Implikasi lain adalah tindakan pemangkasan birokrasi oleh pemerintah pusat untuk semua Pemda. Ini merupakan suatu indikasi yang mengarahkan semua kewenangan kepada pemerintah pusat saja, sehingga memaknai perubahan sistem disentralisasi kepada sentralisasi. Yang berarti memangkas kewenangan otonomi daerah, hal mana punya beberapa konsekuensi dan cenderung seperti meniru sistem pemerintahan di negara China.
Amat disayangkan proses penggodokan UU Omnibus Law tidak sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh UU No.12 Tahun 2011. Terkesan asal jadi. Bahkan, sebagian besar anggota DPR yang hadir di ruang paripurna belum mendapatkan draf final dari RUU Omnibus Law yang akan disahkan saat itu. Kok bisa terjadi?.
Berarti yang disahkan tersebut apakah dalam bentuk kertas kosong?. Tidak kelihatan draf RUU setebal 905 halaman tersebut di masing-masing meja Anggota DPR saat paripurna. Ini salah satu celah adanya cacat prosedur pada UU Omnibus Law.
Selain itu, pemerintah pusat juga tidak pernah membahas UU Omnibus Law ini dengan seluruh di Indonesia yang punya wilayah tempat lokasi investasi itu sendiri yang akan diatur oleh UU Omnibus Law. Bukankah Pemda setempat juga punya kewenangan mengatur di daerahnya tentang investasi, khususnya dalam hal penerbitan izin lokasi. Kenapa kewenangan itu dirampas oleh pemerintah pusat dalam hal ini presiden.
Perlu diingat bersama bahwa kepada daerah itu juga dipilih saat pilkada dan dipercaya oleh rakyat yang memilihnya berdasarkan visi dan misinya dalam pilkada tersebut.
Semestinya lah pemerintah pusat menghargai UU Otonomi daerah dan mengajak dulu semua kepada daerah untuk terlibat dalam pembahasan UU Omnibus Law sebelum diajukannya ke DPR, khususnya dalam hal menerapkan izin lokasi pada proyek investasi dan penentuan upah minimum regional (UMR) di daerah bagi para pekerja di lokasi investasi dan lain-lain.
Dengan Omnibus Law ini, seolah-olah hanya Presiden saja yang berhak punya visi, baik menteri maupun para kepada daerah hanya menjalankan visi presiden saja!. Berarti akan menisbikan sebagian kewenangan kepada daerah. Begitu besar sekali kewenangan presiden sebagai koordinator eksekutif yang tidak sesuai konteks pembagian kekuasaan dalam doktrin Trias Politika nya John Locke.
Sedangkan tentang isu ketenagakerjaan, perlu dipertanyakan, Omnibus Law ini menciptakan lapangan kerja buat siapa ?
Buat WNI atau WNA kah ?
Karena si investor pun juga ingin bawa TKA dari negaranya sendiri yang bisa dia kendalikan sendiri seperti yang terjadi selama ini kita lihat banyak sekali TKA China yang masuk berduyun-duyun ke Indonesia tanpa memperdulikan TKI yang banyak menganggur. Isu dan persyaratan seperti itulah yang menarik bagi investor asing kelihatannya, yang nantinya akan sulit ditolak keinginan tersebut oleh pemerintah pusat demi masuknya income bagi negara yang lagi krisis keuangan dan sedang banyak hutang ini.
![](https://sudutpandang.id/wp-content/uploads/2020/10/Butuh-Pekerjaan.jpg)
Hanya dengan mengabulkan permintaan investor baru bisa segera diperoleh harapan income guna menutupi kebutuhan APBN yang selama ini sibuk dengan pembahasan hutang beserta pembayaran bunganya, dan lain-lain. Semuanya terkesan lokasi investasi terpaksa dilelang murah oleh Indonesia pada investor asing.
Sedangkan pemangkasan birokrasi perizinan agar lebih praktis, hal itu akan banyak dampaknya ke berbagai bidang lainnya. Padahal perizinan itu juga berguna sebagai bentuk kontrol dan pengawasan dalam suatu birokrasi serta juga sebagai tolak ukur dan batu ujian tentang benar tidaknya atau efektif tidaknya suatu investasi dari investor tersbut atau jika investasi itu tidak ada izin tentu kegiatan tersebut harus distop. Itulah salah satu fungsi birokrasi yang perlu dijaga eksistensinya.
Jangan perizinan itu hanya diperlakukan untuk kegiatan unjuk rasa saja yang jika tidak ada izin, maka unjuk rasa itu dilarang, padahal sudah diatur oleh UU.
Sedangkan sebaliknya untuk eksploitasi sumber daya alam tambang Indonesia misalnya, oleh pihak investor asing cukup mengajukan izin saja. Jika tdk digubris dalam batas waktu tertentu berarti diizinkan. !!. Apalagi Jangka waktu investasinya pun konon akan diperkenan sampai 75 tahun.
Wah bisa kacau cara-cara seperti itu diterapkan. Karena hal itu berpotensi terjadinya pengkavlingan wilayah kekuasaan di Indonesia seperti yang terjadi selama itu di Free Port yang terkesan ada pengaturan negara dalam negara.
Dalam wacana UU Omnibus law kondisinya akan dibuat lebih praktis Dan otomatis, tapi itu berpotensi lebih cenderung destruktif bagi rakyat dan bangsa Indonesia.
Kalau cara-cara seperti itu diberlakukan, maka ketentuan UU maupun UUD ‘45 khususnya pasal 33 bisa terobrak abrik. Misalnya jika si investor mau berinvestasi di suatu tempat strategis, dia hanya tinggal tunjuk suatu lokasi pilihannya. Selanjutnya pemerintah pusat tidak kuasa menolaknya untuk membebaskan lahan tersebut dengan alasan untuk kepentingan umum, rakyat yang hidup tenang di lokasi itu harus digusur demi memanjakan si investor.
Sedangkan di sisi lain, Pemda setempat hanya bisa menonton fenomena yang ada. (Kalau hal seperti ini direalisasi dan yang bakal terjadi saya pikir, ini suatu bentuk kedunguan dalam kebijakan pemerintah berdasarkan ketentuan Omnibus Law ini).
Dengan contoh di atas, kebijakan negara ini akan mengarah kepada liberal kapitalis. Bukankah tugas utama negara adalah untuk melindungi rakyatnya dan menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Tetapi kenapa presiden mengambil sikap seperti itu ?
Seolah menyiratkan suatu agenda tersembunyi selain terkesan suatu kepanikan dalam mengatasi kerumitan berbagai masalah bangsa dan negara Indonesia.
Dengan UU Omnibus Law itu kewenangan pemerintah pusat akan sangat luas dan tidak tertutup kemungkinan menisbikan kewenangan Pemda, bahkan ada juga ketentuan yang mengatur: cukup menggunakan Keppres saja bisa merubah pasal-pasal yang ada dalam suatu UU.
Wah hal ini lebih ekstrem lagi, hal ini berarti kewenangan eksekutif pusat mencaplok kewenangan legislatif.
Apakah hal itu akan berlanjut untuk mencaplok kewenangan yudikatif juga jika suatu ketika dibutuhkan presiden?.
![](https://sudutpandang.id/wp-content/uploads/2020/10/Legislatif.jpeg)
Walaupun selama ini ada juga kuasi yudikatif di tangan presiden berupa pemberian amnesti, grasi dan abolisi serta rehabilitasi, tetapi bukan berarti keistinewaan itu bisa dimintakan lagi perluasannya. Jika itu benar-benar terjadi, maka Konsekuensi logisnya adalah berubahnya sistem demokrasi di Indonesia kearah kekuasaan tirani.
Dengan mengimplikasikan UU Omnibus Law ini nantinya, maka kekuasaan presiden bukan lagi tidak tak terbatas (alias Terbatas) menurut UUD, melainkan akan bergeser kearah “Bukan Tidak Tak Terbatas (alias tidak dibatasi).
Prosedur secara hukum tata negara, semestinya harus dihormati Presiden, mulai dari tahapan proses pembentukan UU yang harus mengacu kepada UU No.12 tahun 2011. Diikuti dengan konsep Naskah Akademis, sosialisasi RUU, dan harus melewati berbagai tahapan pembahasan di Balegnas di DPR, Fraksi-fraksi dan berakhir di sidang paripurna dengan draf final. Yang nyatanya draf final UU Omnibus Law ini tidak ditemukan saat pengetukan palu oleh pimpinan sidang DPR yang dipimpi Azis Syamsudin.
Dan sangat lah tidak pantas dan jangan pula seenaknya berseloroh jika tidak setuju dengan UU Omnibus Law silahkan saja lakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI.
Rakyat awam ditantang berdebat pasal demi pasal. Ya sudah pastilah suatu panitia itu lebih siap dibanding peserta yang dipaksakan harus bisa mencari kelemahan suatu UU dalam batas jangka hitungan menit. Itu adalah cara-cara tirani dalam mematahkan argumentasi rakyatnya yang kontra dengan pemerintah.
Di sisi lain, juga pengamat bayaran diminta pendapatnya tentang UU organik aturan pelaksananya yang dibutuhkan untuk implementasi UU tersebut. Hal Itu mengesankan bahwa UU tersebut sudah valid dan benar dan harus sudah bisa untuk diterapkan kepada calon investor.
Itu adalah cerminan tindakan semena-mena (abus de droit). Karena cacat prosedur dan cacat juridis dalam pembentukan UU ini sudah dengan sengaja dilabrak oleh presiden. Sedangkan DPR terkesan hanya tukang stempel saja demi memenuhi keinginan presiden untuk memperioritaskan pembahasan Omnibus Law ini.
Berbagai ketentuan UU pun sengaja ditabraknya/dilanggar presiden, dan terkesan harus dimaklumi, tidak perlu dan tidak boleh dipermasalahkan lebih lanjut oleh siapapun.
Hal ini membawa kesan seolah-olah presiden boleh langgar UU seenaknya untuk melahirkan UU Omnibus Law, kemudian mempersilahkan dan menantang rakyatnya untuk mengajukan judicial review ke MK jika ada yang tidak setuju. Logika kita secara akal sehat seolah dibolak balik.
Ada aksi, ada reaksi !
Kesewenang-wenangan dalam melahirkan UU ini, memicu reaksi unjuk rasa. Itulah cara praktis bagi rakyat awam mengekspresikan ketidak senangannya. Tapi semuanya sudah diantipasti, aparat sudah belanja baju anti peluru, pentungan, gas air mata dan lain-lain, bahkan siap mengkriminalisasi pendemo jika diperlukan.
Disamping ada juga beberapa orang seperti aparat yang terciduk kamera ikut memprovakasi dan memperkeruh suasana dengan cara ikut pula menambah keributan dan melakukan pembakaran yang nantinya akan ditimpakan kesalahannya pada pendemo.
Kalau prosedur MK harus ditempuh, sebaiknya presiden menghormati kewenangan Hakim MK dalam melakukan judicial review atas UU Omnibus Law ini nantinya.
Jangan sampai rakyatpun sudah trauma dengan putusan MK di tahun 2019 tentang hasil sengketa pilpres, karena pengangkatan Hakim MK tersebut 1/3 nya diajukan oleh pemerintah sendiri, sedangkan 1/3 lagi berasal dari Hakim karier dan sisanya berasal dari seleksi masyarakat umum yang duji fit and proper nya oleh DPR. Dari komposisi jumlah Hakim MK tersebut rasanya tidak akan sulit bagi pemerintah untuk mempertahankan Omnibus Law ini. Kalau hanya butuh perimbangan 50% + 1 dari seluruh Hakim MK yang 9 orang itu.
Dengan demikian rakyatpun sudah patah arang sejak dari awal untuk maju ke MK-RI mengingat pengalaman yang pernah terjadi selama ini.
Mimpi Jadi Presiden
Jika Saya pun diperkenankan bermimpi di siang bolong jadi presiden saat ini, maka Saya pun akan melakukan hal yang sama. Tetapi pertanyaan adalah, apakah cara-cara saya itu tidak akan dikutuk oleh rakyat dan seluruh komponen masyarakat?.
Seperti pendapat dari para pengamat, sayapun bisa juga memahami jalan pikiran mereka dengan memanfaatkan eksistensi para cukong dengan cara imbal balik fasilitas nantinya.
Apalagi sudah ada pula payung hukum (umbrella institution) yaitu UU Nomor 2 tahun 2020 yang berasal dari Perppu No.1 tahun 2020 yang dikenal dengan sebutan UU Covid-19 dalam mengatasi per ekonomian negara terkait dan terdampak Covid-19.
Pada pasal 12 dikatakan, bahwa presiden melalui Keppres bisa menyusun keuangan negara tanpa persetujuan DPR. Sedangkan pasal 27 dikatakan bahwa semua penggunaan anggaran tersebut jika dilakukan dengan itikad baik, tidak bisa dimintakan pertanggungjawabkan secara hukum baik perdata maupun pidana.
Dengan payung hukum di atas, tentu saya bisa menundukan DPR yang konon fenomenanya sudah bergeser dari wakil rakyat menjadi wakil partai.
Untuk mengakomodir kebutuhan partai atau fraksi di DPR, agar menjadi satu paduan suara, mungkin saya cukup berhubungan dengan segelintir elit partai saja dan juga tidak perlu dengan seluruh fraksinya, cukup 60 % suara di DPR saja.
Kalau lah 1 fraksi saya alokasikan RP2 T per-tahun x 5 tahun baru Rp10 T. Jika untuk 7 faksi tinggal dikalikan saja sehingga menjadi Rp70 T. Tetapi kompensasinya semua produk UU yang bakal dilahirkan DPR harus sesuai dengan keinginan kelompok saya. Alokasi dana Covid-19 akan bisa saya gelembungkan dari Rp475 T menjadi Rp970 T. Toh semuanya itu dicover oleh pasal 27 UU Covid-19 tersebut.
Kalau begitu, sayapun mulai berpikir, jangankan saya yang WNI, mungkin TKA dari China pun yang sudah diberi e-KTP dan diakui sebagai WNI juga bisa bermimpi seperti saya. Toh ketentuan pasal 6A UUD’45 yang sudah diamandemen juga sudah terpenuhi, tanpa mensyaratkan calon presiden harus beragama Islam, dan WNI asli. Karena syarat utama calon presiden itu adalah WNI.
Tentunya mimpi saya itu akan buyar seketika setelah saya bangun dari tidur, karena tidak teganya melihat dampak dari perbuatan saya yang sudah terlanjur mengatakan diri saya sebagai Pancasilais sejati yang tentunya akan berakibat terjadinya penderitaan rakyat berkepanjangan yang bakal ditimbulkannya. Karena ultah perbuatan saya yang berusaha memaksakan kehendak tersebut.
Selain itu juga hanya sebagian kecil dari bangsa dan rakyat Indonesia yang mendukung mimpi saya tersebut, wabil khusus adalah mereka-mereka yang notabene para buzzer Rp dan influenser yang sudah saya persiapkan.
Jakarta, 10 Oktober 2020
M.Yuntri, Pengamat Sosial dan Senior Lawyer di Jakarta