Hemmen

Benang Merah di Balik Pembakaran Polsek Ciracas dan Pos Polisi di Daerah Lain

Dr. Najab Khan, S.H., M.H./ist

Oleh: Dr. Najab Khan, S.H., M.H.

Perlu dibuat revisi UU POLRI, agar UU hasil revisi mengatur sanksi berat jika oknum Polisi menyalahgunakan tugas dan kewenangannya dalam hal penegakan hukum, HAM dan keadilan. Tujuannya merevisi UU Polisi agar Polisi lebih professional dalam penegakan hukum dan tidak semena-mena serta mencegah timbulnya kecemburuan sosial.

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

Pendahuluan

Dalam alam demokrasi, suka muncul masalah yang terkait hukum, ekonomi, politik dan gejolak psikologi masyarakat. Hal demikian disebabkan tajamnya perbedaan kepentingan, perbedaan pengaruh/dominasi/ego institusi, termasuk perbedaan perlakuan dan perlindungan terhadap prajurit/personil (TNI/Polisi) maupun masyarakat umum serta tidak berkepastian.

Terganggunya proses pencapaian keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia karena berbeda kepentingan ikut memperparah keadaan dan sering menimbulkan masalah di tengah-tengah masyarakat. Pada ketentuan Pasal 30 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen tegas menyebutkan TNI dan POLRI merupakan alat negara. Prajurit TNI memiliki tugas pokok yaitu mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara. Prajurit yang terhimpun dalam kesatuan TNI biasanya disebut “combatan”.

Berbeda dengan personel Polisi (POLRI) walaupun sama-sama merupakan alat negara menurut UUD 1945 hasil amandemen tetapi tugas dan kewenangannya tidak seluas dan tidak se elit TNI. Tugas dan kewenangan Polisi walaupun tidak seluas dan se elite prajurit TNI, namun memiliki jatah porsi tugas yang oleh masyarakat biasanya disebut dengan istilah tugas/job basah.

Tugas utama POLRI menurut UUD 1945 hasil amandemen difokuskan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat utamanya dalam kaitan dengan penegakan hukum, HAM dan keadilan, serta melindungi dan melayani masyarakat sesuai ketentuan UU.

Efek dari luasnya pengembangan tugas pokok Polisi, sering membawa dan menyeret oknum-oknum Polisi tergoda uang atau jenis-jenis godaan lain dan mengganggu proses pencapaian keadilan sosial masyarakat. Intensitas oknum Polisi melakukan perbuatan tercela dari waktu ke waktu memang cukup tinggi sehingga efeknya masyarakat menstigma seolah-olah semua oknum Polisi melakukan perbuatan tercela. Ada anekdot yang menarik dan diucapkan oleh sebagian masyarakat sebagai berikut: “anda susah anda lapor polisi, anda lapor anda susah”.

Anekdot masyarakat semacam ini memang terdengar seperti lucu-lucuan tetapi sejatinya anekdot demikian turut merusak citra Polisi didalam institusinya. Jika fakta anekdot ini benar dan dibiarkan tanpa pembenahan, lama kelamaan akan menjadi penyakit, akan menimbulkan kemarahan rakyat (masyarakat) terhadap institusi POLRI. Bahkan tidak menutup kemungkinan dapat berujung tuntutan pembubaran institusi POLRI seperti yang terjadi dan disuarakan oleh masyarakat tertindas di Amerika.

BACA JUGA  Revisi Surat Terbuka OC Kaligis untuk Panglima TNI Soal Habib Rizieq

Sebelum era reformasi, perbuatan tercela dari oknum Polisi memang ada dan sering terjadi, namun kurang dirasakan masyarakat karena banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya. Misalnya faktor kurang optimalnya pengaruh digitalisasi informasi dan faktor pengaruh sistem Ketatanegaraan yang kala itu dominan menekankan pentingnya “Dwifungsi ABRI” dari pada “praktik dwifungsi PARTAI berkuasa yang mempengaruhi tubuh Polisi”. Di era dwifungsi ABRI, tugas dan peran Polisi lebih terkontrol dan seakan Polisi memiliki rasa sungkan jika berbuat tidak wajar terhadap masyarakat atau terhadap elit prajurit TNI.

Kala itu, banyak pihak mengawasi tingkah laku Polisi termasuk diawasi oleh Korps ABRI. Sejak reformasi, suasana berubah dan menjadi berbeda. Iklim perubahan sistem tata negara membuat oknum Polisi merasa lebih bebas dalam segala hal termasuk bebas berimprovisasi dalam tugas sehari-harinya sehingga tidak sedikit oknum Polisi terseret dan berbuat suka-suka karena merasa tidak dibawah Panglima TNI.

Tindakannya sering out of control jika bersentuhan dengan masyarakat (maupun masyarakat elite TNI) yang memiliki “jiwa proud” (jiwa kebanggaan atau korsa) sebagai institusi elite di negara RI. Konon kabarnya Polsek Ciracas, Jakarta Timur dibakar dua kali dalam 2 tahun (sejak tahun 2018 – tahun 2020), karena kuat dugaan adanya ketidak puasan dalam penanganan kasus pengeroyokan terhadap anggota TN-AL oleh masyarakat umum.

Kejadian yang kedua terjadi pada tanggal 29 Agustus 2020 juga disebabkan terkait dengan kasus pertama yang tidak memuaskan salah satu pihak selama dalam penanganan Polsek tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi sebab pembakaran Polsek Ciracas untuk kedua kalinya dan pembakaran kantor/pos-pos Polisi di Sampang, Madura atau di Kendari memang tidak tunggal.

Namun yang pasti sejak perubahan sistem Ketatanegaraan (dari perubahan sistem Dwifungsi ABRI menjadi perubahan dominasi “Dwifungsi PARTAI BERKUASA” atas institusi Polisi turut menjadi sebab pemicu keadaan tidak kondusif, carut marut. Misalnya banyak oknum-oknum Polisi tidak lagi menghormati existensi prajurit TNI.

Kadang-kadang oknum Polisi lebih menghamba “pada Ketua Partai”, pada petugas Partai yang berkuasa, pada Ormas tertentu, pada buzzer-buzzer tertentu bikinan petugas Partai (Partai berkuasa) daripada terhadap masyarakat pada umumnya atau terhadap elit alat negara mitranya.

Akibat dari perlakuan dan penanganan yang tidak optimal atas pengeroyokan TNI-AL oleh Polsek Ciracas, maka menimbulkan ketidak puasan pada prajurit TNI sebagai alat negara mitranya. Bibit ketidak puasan masyarakat terhadap cara penanganan oleh Polisi juga disebabkan seringnya oknum Polisi (pimpinannya) suka berbuat tidak adil pada satu kelompok masyarakat tertentu yang berbeda pandangan politik dengan petugas partai, atau dengan orang-orang partai yang sedang berkuasa, dengan buzzer-buzzer partai bikinan rezim. Contoh dan gambaran keadaan yang tidak kondusif seperti demikian turut memperparah keadaan. Sehingga diperkirakan dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan masalah lain yang akan tidak sederhana penanganannya.

BACA JUGA  Kerempugan Adalah Kekuatan: Refleksi Milad ke-20 FBR

Oleh sebab itu, intitusi Polisi perlu mereformasi diri “bukan mereposisi ganti penghambaan pada partai berkuasa, pada Ormas-ormas tertentu bikinan partai berkuasa/buatan rezim berkuasa, pada oligarki tertentu yang punya uang dan dekat dengan kekuasaan”.

Masalah

Mapolsek Tambelang, Sampang Madura dibakar massa, Rabu (22/5/2019)/Beritajatim.com

Mengapa personel/oknum TNI dan masyarakat pada umumnya suka jengkel dan membakar kantor-kantor Polisi seperti dua kali terjadi di Polsek Ciracas, Jakarta Timur, di Pos Polisi Tambelangan, Sampang, Madura dan di Pos Polantas Kendari, dan lain-lain?.

C. Sebab keributan

Masalah pembakaran Polsek Ciracas atau pembakaran di pos-pos Polisi lainnya sebetulnya merupakan awal adanya fakta perbedaan kepentingan, perbedaan pengaruh/dominasi/ego institusi, perbedaan perlakuan dan perlindungan terhadap prajurit/personel TNI dari kinerja Polisi itu sendiri.

Kadang-kadang masalah pembakaran kantor Polisi terjadi karena dipicu faktor kejengkelan masyarakat yang semakin hari, semakin terpendam melihat kerjaan oknum Polisi yang suka berbuat tidak adil, suka melindungi pelanggar-pelanggar hukum, suka cepat menyimpulkan dan membuat alasan bahwa pelakunya orang gila. Padahal pelakunya belum diperiksa psikiater, suka meremehkan institusi alat negara sejawat. Fakta-fakta seperti ini merupakan fakta “sebab keributan (sumber keributan)”.

Faktor-faktor lain yang juga dapat dikategorikan sebagai “sumber/sebab keributan” adalah adanya “ketidak harmonisan” hubungan antara prajurit TNI dan personel Polisi di tingkat bawah, tidak saling percaya. Jika ditelisik lebih jauh, ketidak harmonisan tersebut disebabkan faktor kesenjangan kesejahteraan yang berbasis sumber-sumber “pendapatan illegal” di lapangan yang dipertontonkan oleh oknum Polisi secara terang-terangan, dan tak pernah ada solusinya.

Sumber keributan lain karena Polisi diberi kewenangan luas dan menggeser kewenangan institusi lain seperti kewenangan Kementerian Perhubungan, kewenangan Kantor Pajak, dan lain-lain. Kadang pensiunan Polisi pun diberi kewenangan istimewa mengisi jabatan-jabatan di badan-badan usaha milik negara dan menggeser peran-peran pensiunan TNI maupun pensiunan ASN lainnya dan menimbulkan bangkitnya jiwa korsa prajurit TNI.

Akibat kewenangan terlalu luas diberikan pada Polisi, maka tidak sedikit peran-peran tersebut dimanfaatkan oleh satu kelompok masyarakat yang lain (oligarki) yang dekat dengan kekuasaan atau oleh Partai berkuasa untuk menekan masyarakat rivalnya melalui pemanfaatan tangan-tangan oknum Polisi yang pernah berhutang budi pada partai berkuasa.

BACA JUGA  Sapta Nirwandar, Pariwisata Halal, dan Gelar Guru Besar Kehormatan

Tujuannya untuk membantu urusan bisnis kelompok masyarakat tertentu (oligarki) sambil mempertahankan kekuasaan oligarki. Anomali demikian juga merupakan sebab keributan, sumber masalah dan tidak pernah ada solusinya sampai sekarang. Sebab keributan lain, misalnya adanya kecemburuan sosial terhadap cara-cara penanganan dari oknum Polisi yang tidak professional, suka menyimpang dan bahkan oknum-oknum Polisi yang melanggar UU, suka dilindungi Korps nya serta kadang tidak tuntas penanganannya.

Sudah banyak laporan masyarakat terhadap oknum Polisi yang berbuat tercela (misalnya mengkriminalkan tokoh-tokoh masyarakat tertentu/ulama, membackingi pelanggar-pelanggar hukum, membackingi kepentingan oligarki dan suka menekan rakyat yang protes terhadap kebijakan kekuasaan yang tidak pro rakyat dengan berbagai rekayasa).

Contoh lain banyak oknum Polisi melanggar hukum terhadap kehidupan demokrasi dengan cara menganiaya demonstran sehingga ada yang meninggal dunia dan tidak ada proses hukum tindak lanjutnya yang memuaskan masyarakat.

Banyak oknum Polisi terseret kasus suap, korupsi, berpihak/tidak netral pada salah satu calon peserta pemilu, Pilkada namun fakta pelanggaran tersebut sering tidak ditindak lanjuti sehingga keadilan sosial masyarakat tergores. Fakta kesenjangan demikian merupakan sebab keributan di lapangan dan sering berujung kantor Polisi dibakar. Oleh sebab itu, kedepan perlu dipikirkan dan dicari solusi yang adil dan menyentuh akar masalah atau sebab masalah dan bukan hanya menyentuh pada akibat-akibat dari timbulnya keributan atau pembakaran.

Cara-cara penanganan yang arif, bijaksana dan menyentuh sebab keributan sangat diperlukan terutama dari sikap dan cara seorang atasan/komandan dalam mengambil kebijakan/putusan karena dua institusi ini sama-sama merupakan alat negara dan sama-sama diperlukan masyarakat, diperlukan Negara RI.

Kebenaran Tak Kan mudah Kau Dapati Bila Sebab-sebab Peristiwa Tak Pernah Kau Jumpai

Jangan hanya gara-gara timbul akibat kerusakan di beberapa Polsek saja yang dipertimbangkan sedangkan yang lebih penting yaitu “sebab atau akar masalahnya” tidak pernah dipertimbangkan. Memang tidak mudah mengambil sikap yang bijaksana dari seorang komandan (Pimpinan) karena melibatkan dan menyangkut banyak hal, antara lain “kecerdasan sosial dan kecerdasan intelektual yang berbeda-beda di lapangan”.

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan