Hemmen

“Catatan Kritis” Kelemahan Regulasi Pandemi Covid-19

Dr. Najab Khan, SH., MH

F. Kelemahan regulasi terkait wabah penyakit menular

Mengkaji dan memperbandingkan dua kelompok bentuk regulasi terkait kegiatan upaya layanan kesehatan yang ada maka terlihat jelas sisi pengaturan upaya layanan kesehatan yang tumpang tindih serta bertentangan dengan program layanan kesehatan lainnya. Dalam catatan masyarakat hukum kesehatan, terdapat beberapa regulasi yang dipandang lemah, tumpang tindih serta tidak padu satu sama lain, terutama menyangkut regulasi yang tercantum dalam UU No. 4 tahun 1984, PP No. 40 tahun 1991, Peraturan Presiden No. 108 tahun 2020, Peraturan Presiden No. 14 tahun 2021, Intruksi Mendagri
No. 3 tahun 2021. Kelemahan regulasi dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut :

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

a. Pasal 10, Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1991 sebagai Peraturan Pelaksana dari Pasal 5 UU No. 4 tahun 1984 ternyata tidak mengatur detail soal bagaimana kriteria “unsur perbuatan sebagai suatu perbuatan yang dipandang melanggar hukum pidana berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU No. 4 tahun 1984.

b. Unsur sanksi pidana dalam ketentuan Pasal 14 UU No. 4 tahun 1984 kontroversi, multi tafsir dan tidak identik dengan unsur ketentuan yang diatur dalam Pasal 5 UU No. 4 tahun 1984 maupun dalam isi Pasal 10, Pasal 11 PP No. 40 tahun 1991.

Artinya unsur yang dilarang dan diancam pidana sebagai kejahatan atau sebagai pelanggaran dalam Pasal 14 UU No. 4 tahun 1984 mengandung unsur perbuatan konkrit menghalanghalangi “pelaksanaan penanggulangan wabah” bukan mengandung unsur perbuatan konkrit menghalang-halangi “suatu upaya penanggulangan wabah” seperti diamanatkan Pasal 5 UU No. 4 tahun 1984.

c. Substansi Pasal 3 dan Pasal 6 Peraturan Presiden No. 108 tahun 2020 yang mengubah Peraturan Presiden No. 82 tahun 2020 “ternyata juga tidak seirama” dengan isi ketentuan pasal 1d UU No. 4 tahun 1984 Jo. PP No. 40 tahun 1991 padahal mestinya isi Pasal 3 dan Pasal 6 Peraturan Presiden No. 108 tahun 2020 tersebut dibuat dan digunakan untuk tujuan penguatan atau melengkapi tugas dan kebijakan dari Kementerian terkait bukan sebaliknya digunakan untuk mengambil alih fungsi maupun tugas dari Kementrian terkait melalui kebijakan-kebijakan barunya.

d. Pasal 13A yang disisipkan dalam Peraturan Presiden No. 14 tahun 2021 yang mengubah Peraturan Presiden No. 99 tahun 2020 “juga tidak sejalan” dengan isi ketentuan Pasal 14 UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 10 KUHP. Didalam Pasal 14 UU No. 4 tahun 1984 dan Pasal 10 KUHP sebenarnya sudah mengatur sanksi pidana penjara, sanksi pidana denda dan sanksi pidana
tambahan (sanksi pencabutan hak-hak tertentu).

Tetapi oleh Pasal 13A Peraturan Presiden No. 14 tahun 2021 “sanksi pidana denda dan sanksi pidana tambahan administrative” diatur kembali seolah-olah belum dimuat dan diatur dalam Pasal 14 UU No. 4 tahun 1984 maupun dalam Pasal 10 KUHP.

Pada sanksi administrative, Peraturan Presiden No. 14 tahun 2021 menekankan sanksi berupa larangan “tidak boleh menerima atau menunda penerimaan bantuan sosial atau layanan-layanan administrasi Pemerintahan jika tidak mengikuti vaksinasi Covid-19. Padahal kewenangan membuat sanksi pidana pokok dan atau sanksi pidana tambahan seperti yang diatur didalam UU merupakan kewenangan pembuat UU (legislatif + ekskutif).

e. Jika ditelisik lebih lanjut, Pasal 13A ayat 2 Peraturan Presiden No. 14 tahun 2021 yang disisipkan “ternyata bertentangan” dengan isi ketentuan Pasal 56 UU Kesehatan, Pasal 68 ayat 1 UU Tenaga Kesehatan, Pasal 45 ayat 1, ayat 4 dan ayat 5 UU Praktik Kedokteran, Pasal 37 UU Rumah Sakit, Pasal 21 Peraturan Menteri Kesehatan No. 84 tahun 2020.

f. Demikian pula produk Instruksi Mendagri No. 3 tahun 2021 “menimbulkan overlaping” terutama jika dikaitkan dengan isi peraturan diatasnya yang mengatur tentang kewenangan Kementerian terkait, yaitu terkait dengan soal kewenangan dalam menetapkan daerah wabah atau terkait dengan soal penanganan pelayanan kesehatan masyarakat yang merupakan hak dan kewenangan Menteri Kesehatan dan atau terkait dengan soal pembinaan ekonomi kreatif bagi masyarakat golongan ekonomi kecil menengah atas yang merupakan hak dan kewenangan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

g. Pertimbangan yang tercantum dalam Instruksi Mendagri No. 3 tahun 2021 ternyata juga “tidak memenuhi standar sebagai suatu norma/sistem hukum” karena isi pertimbangan instruksinya tidak mencantumkan kapan arahan Presiden diberikan, bagaimana isi arahan disampaikan serta isi pertimbangan instruksinya pun tidak mencantumkan dasar hukumnya. Instruksi-instruksi model demikian tidak dapat dibenarkan dalam tata kelola sebuah negara hukum karena akan merusak bangunan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Jika terdapat fakta perbedaan tafsir pada unsur “pengaturan sanksi pidana” atau terdapat instruksi-instruksi yang tidak ada landasan pertimbangan hukumnya maka bukan saja mempengaruhi regulasi yang sudah diberlakukan tetapi juga regulasi yang ada akan “tidak memiliki daya keberlakuan (eficatie)” karena tidak memenuhi kriteria bangunan norma hukum sebagai “suatu sistem”. Artinya norma hukum sebagai suatu sistem tidak akan dapat bekerja efektif atau efisien jika 3 komponen (legal strukture, legal substance, dan legal culture ) tidak bergerak simultan/tidak padu dalam satu sistem regulasi.

G. Kesimpulan

Regulasi dalam UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular atau terkait dengan UU lainnya termasuk terkait dengan Peraturan Pelaksananya (dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Kesehatan, Instruksi Menteri Dalam Negeri) ternyata tidak saling padu, tidak efektif. Sehingga regulasi yang ada tidak mencerminkan bangunan norma hukum sebagai “suatu sistem” yang mensyaratkan 3 komponen (legal strukture, legal substance dan legal culture) serta tidak dapat bergerak secara simultan.(**)

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan