Jika dibaca dalam batas penalaran hukum yang wajar, Surat Ketua MA (KMA) Nomor 73 tersebut tidak memenuhi kualifikasi peraturan kebijakan berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Dan jika dilihat dari kebiasaan kebijakan administrasi di lingkungan MA, berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung (Kep.MA) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan MA-RI yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk perbuatan atau tindakan administrasi di lingkungan MA-RI secara limitatif hanya terdiri dari:
- Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan
- Surat Keputusan (Skep.) MA.
Mencermati Surat Keputusan MARI (Skep.MA-RI) Nomor 57 Tahun 2016 tersebut, tidak disebutkan jenis Surat Ketua MA sebagai bagian dari bentuk pedoman penyusunan kebijakan di lingkungan MA. Oleh karenanya, Surat Ketua MA Nomor 73 telah menyimpangi secara nyata terhadap peraturan kebijakan internal MA, yaitu Keputusan Mahkamah Agung (KMA) Nomor 57 Tahun 2016. Dan secara nomenklatur pun tidak bisa mengalahkan peraturan yang lebih tinggi darinya, kecuali secara administratif hanya berlaku dan bersifat memperlancar secara teknis tentang penerapan suatu peraturan di bawah kualifikasi, peraturan pelaksana terkait untuk teknis pelayanan publik. Dan sama sekali tidak bisa dijadikan acuan sebagai pengganti suatu peraturan undang-undang tertentu.
Terkait penggunaan Surat Ketua MA No.73 ini oleh Pengadilan Tinggi dalam mengambil sumpah bagi para calon advokat baru terkesan adanya tindakan pembiaran oleh institusi MA-RI itu sendiri. Seolah pingin melakukan kesalahan dan pelanggaran bersama secara berjamaah dan tidak ada inisiatif untuk mengevaluasi, merevisi SKMA No.73 tahun 2015 tersebut agar sesuai dan sejalan dengan ketentuan UU Advokat No. 18 tahun 2003. Mungkinkah ada peluang “cuan” bagi semua pihak dalam konteks tersebut, perlu adanya penjabaran tersendiri secara teknis prosesi penyumpahan calon advokat oleh PT setempat.
Dampak Salah Tafsir terhadap Surat Ketua MARI No.73 :
Surat Ketua MA-RI No.73 sejatinya sebagai koreksi dari Surat Ketua MA-RI sebelumnya Nomor: 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang pada pokoknya menyatakan Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah para advokat yang telah memenuhi syarat dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh pengurus Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sesuai dengan jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010 antara PERADI dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), yang selama ini telah berdampak terlambatnya pengambilan sumpah profesi bagi puluhan ribu calon Advokat Indonesia.
Seingat penulis, gelombang pertama kali penyumpah Advokat setelah terbitnya SKMA No.73 ini dilaksanakan di Bandung tanggal 21 Oktober 2015 sebanyak 265 orang termasuk dari OA KAI, di hadapan persidangan yang dipimpin oleh Ketua PT Jawa Barat, Ny.Emmy Mustopa. Proses verikasi persyaratannya terkesan tidak begitu ketat saat itu. Setelah itu barulah disusul oleh PT lainnya di seluruh Indonesia yang lebih tertib dengan melibatkan suatu kepanitian khusus untuk memverifikasi persyaratan calon peserta yang lebih ketat lebih dulu.
Pengambilan sumpah profesi tersebut diharapkan bisa mengurai kebuntuan dalam menemukan solusi, yang selama ini dianggap berindikasi pelanggaran HAM bagi WNI yang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Halmana diatur pada pasal 28H ayat (2) UUD’45, maka penerbitan SKMA No. 73 dianggap solusi sementara kala itu. Halmana juga sinkron dengan putusan MK No.101/PUU-VII/2009, Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Nomor 36/PUU-XIII/2015 terkait pengujian UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat yang mewajibkan para advokat mengikuti prosesi sumpah profesinya tanpa mengaitkan keanggotaan organisasi advokat yang secara de facto ada saat itu, yaitu Peradi dan KAI. Bahkan ditambahkan lagi, apabila setelah jangka waktu dua tahun organisasi advokat seperti dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum terbentuk, perselisihan tentang organisasi advokat yang sah diselesaikan melalui peradilan umum, yang sampai saat ini masih belum terselesaikan.
Selama silang singkarut yang terjadi pada OA KAI dan Peradi belum menentukan OA mana yang diputuskan pengadilan sebagai Single Bar (vide ketentuan pasal 28 UU Advokat No. 18 Tahun 2003), maka ada advokat berusaha menguak status quo tersebut dengan menguji keterampilan dan kreativitiasnya dengan naluri advokat untuk mengabaikan serta mencari justifikasi yang mengarah ke Multi Bar (banyak organisasi advokat), untuk bisa mencetak advokat baru.
Muncul peluang, maka gayungpun bersambut. Kreativitas pertama yang mencoba menafsirkan SKMA No.73 ini adalah Rekan advokat Bakri Remang di daerah Sulawesi. Persekutuan perdata berbadan hukum yang mereka dirikan bernama “Perhimpunan Advokat Republik Indonesia” (PERADRI), dan diam-diam memanuver seolah-olah mencoba berperan sebagai OA baru. Karena sudah terdaftar di Kemenkumham R.I dan memenuhi syarat untuk bisa mengajukan sumpah di PT sebagaimana juklak dari PT setempat, maka diajukanlah permohonan pengambilan sumpah advokat tersebut bagi para kadernya, dan ternyata diterima.
Atas kesuksesan ini PERADRI pun mengklaim diri sebagai OA yang juga merasa sejajar dengan KAI maupun PERADI. Dan berwacana pula memberi solusi kebuntuan masalah single-bar menuju multi bar, mengingat perintah putusan MK untuk penyelesaian perselisihan tentang OA juga belum terselesaikan juga oleh KAI dan PERADI sendiri dalam tengat waktu dua tahun sebagaiman perintah MK-RI. Bukankah secara de facto OA dimaksud dalam putusan MK adalah PERADI dan KAI saja, sekarang muncul lagi PERADRI. Jika hal ini diperkenankan, maka tidak tertutup kemungkinan delapan OA yang lama (IKADIN, AAI, HAPI, IPHI, SPI, HKHPM, AKHI dan APSI) yang sudah sepakat menuju single bar saat pertemuan di Hotel Yamin Puncak, Bogor bulan September 2005, akan terpancing untuk eksis kembali. Bahkan PERADIN pun yang sudah pernah melebur jadi IKADIN tahun 1985 silam, tiba-tiba mendeklarasikan kembali pengurus barunya.
Pendirian OA baru seperti ini sama sekali tidak mempertimbangkan ketentuan pasal 28 UU Advokat No.18 tahun 2003 tentang Single-bar, melainkan pendiriannya murni mengacu kepada UU No.17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Sudah sepatutnya suatu organisasi profesi harus mengacu kepada UU yang mengatur tentang profesinya itu sendiri. Seperti halnya organisasi Dokter dengan IDI nya, profesi Notaris dengan INI nya dan profesi Akuntan Publik dengan IAI nya. Sehingga banyak rumor dari senior advokat yang nyeleneh mengatakan bahwa OA baru tersebut sebagai “OA rasa Ormas”. Bagaimanapun juga kaidah-kaidah suatu organisasi profesi harus tercermin dalam suatu marwah dan identitasnya sebagai organisasi profesi, serta prosedur pendiriannyapun juga harus khusus mengaju kepada UU yang mengatur profesinya itu sendiri. Apalagi pada profesi advokat disematkan predikat “officium nobile” (profesi yang mulia), tentu tidak boleh dilakukan secara serampangan atau secara suka-suka.
Tidaklah pantas memberi kesempatan kepada kumpulan orang debt collector (tukang tagih hutang) misalnya, kemudian mendirikan persekutuan perdata biasa dengan menggunakan unsur titel Advokat pada nama Ormasnya, kemudian mengklaim diri sebagai OA. Walaupun anggotanya ada juga sebagian yang menjalankan tugas profesi Advokat. Begitu juga bagi kelompok “Paralegal” lainnya. Kalau hal itu terjadi maka marwah profesi advokat dan kualitas keprofesiannya dikhawatirkan akan menurun atau terdegradasi. Hal ini akan terlihat nyata dari kualitas produk jasa advokat yang dihasilkan oleh para advokat yang mereka lahirkan itu nantinya. Nilai-nilai etika dan estetika dalam memberi advokasi hukum beserta keilmuannya dan integritas kepribadian dalam menangani suatu kasus/masalah hukum akan terlihat terdegradasi.
Atas kondisi itulah sebagian advokat senior yang sudah malang melintang puluhan tahun di profesi ini merasa terpanggil dan mengharuskan dirinya untuk memotivasi para advokat pemula guna menjaga marwah dan nilai-nilai serta kaidah-kaidah yang mestinya ada dalam perhimpunan orang yang berprofesi sebagai advokat tersebut. Yang jelas mereka tidak rela membiarkannya begitu saja diobrak abrik oleh pendatang baru yang punya naluri kreativitas advokat yang menjustifikasi tindakannya menuju multibar dalam pendirian berbagai “OA rasa Ormas” tersebut. Halmana pernah terjadi sebelum lahirnya UU Advokat, dengan eksisnya delapan OA yang satu sama lainnya saling berkompetisi pada tingkat elit OA dan dengan mudahnya diintervensi oleh pihak pemerintah kala itu, sehingga kekuatan nilai perjuangan komunitas advokat dalam mewujudkan sesuatu kebenaran sebagai kontribusi penegakkan dan pembangunan nasional di bidang hukum di Indonesia bargaining position nya menjadi lemah, kecuali jika komunitas advokat tersebut bersatu.
Fenomena OA dan Saatnya Advokat berbenah :