Hemmen

OA Rasa Ormas

Muhammad Yuntri
Muhammad Yuntri (Foto:Naba SP)

Kadang kantor pusat OA tempat si advokat baru bernaung tidak diketahui alamatnya.  Apalagi jika institusi OA dimaksud juga tidak punya unsur-unsur kelengkapan badan organisasi, baik berupa infra maupun supra struktur organisasi seperti “Dewan Kehormatan,” Komisi Pengawas dan lain sebagainya untuk memproses mala-praktik yang dilakukan para anggotanya. Selain itu dikhawatirkan juga fungsi institusi OA juga tidak berjalan efektif, yang mestinya teruji dan terukur dalam melaksanakan tugasnya. Fungsi OA dimaksud antara lain :

  • Fungsi Rekrutmen, yang meliputi pelaksanaan PKPA standar nasional , begitu juga dengan UPA dengan nilai standar kelulusan secara standar nasional. Apakah materi PKPA nya juga sudah standar nasional yang memuat tujuan utama instruksional, tujuan antara, sistem Proses Belajar Mengajar (PBM) dengan perimbangan presentase bedah kasus, diskusi tanya jawab, latihan keterampilan dan simulasi mootcourt, Durasi pembelajaran setiap materi, alat uji (measurement) sebagai evaluasi daya serap peserta didik atas materi yang diajarkan dan lain-lain. Begitu juga dengan jenis materi yang harus diajarkan termasuk pemahaman tentang etika profesi advokat, sistem administrasi dan manajerial penanganan kasus suatu lawfirm, motivasi berprestasi sebagai advokat penegak hukum dan lain-lain. Yang kesemuanya itu akan diujikan dalam Ujian Profesi Advokat (UPA) dengan menerapkan nilai minimum kelulusan yang standar.
  • Fungsi Pembinaan, baik berupa pelaksanaan magang 2 tahun di kantor senior advokat yang telah berpraktik minimal 5 tahun, maupun berpartisi aktif dalam kegiatan diskusi bedah kasus maupun mengikuti berbagai seminar hukum yang dilaksanakan OA, atau kegiatan gathering lawyer club lainnya, dan lain-lain.
  • Fungsi Pengawasan, yang dilakukan oleh Komisioner Pengawas sehari-harinya yang diatur dalam Bab III, pasal 12 dan 13 UU Advokat, baik pengawasan terhadap kinerja para pengurus OA dalam mewujudkan visi-misi Organisasi maupun terhadap para anggotanya secara umum dalam menjalan tugas-tugas profesi advokat baik di dalam maupun di luar pengadilan.
  • Fungsi Pemberian Sanksi jika terjadi pelanggaran kode etik profesi dan ataupun code of conduct (sikap tindak dan perilaku yang semestinya dilakukan sebagai seorang Advokat diluar menjalankan tugas profesinya sebagai advokat di masyarakat). Khusus tentang code of conduct (aturan sikap tindak dan perilaku) ini, Advokat itu harus bisa juga dinilai sikap tingkah lakunya sehari-hari di masyarakat di luar tugas dalam menjalankan profesinya sebagai advokat/lawyer.

Sampai saat ini masih belum pernah dipikirkan untuk diberlakukan. Sehingga perilaku seorang advokat senior akan sulit ditegor oleh Dewan Kehormatan, jika suatu ketika berperilaku seperti “playboy” misalnya, atau membangga diri dengan kesuksesan materi kekayaan yang melimpah ataupun sikap tingkah laku lainnya dalam berpakaian yang kurang tepat atau kurang senonoh di tengah-tengah masyarakat yang tidak mencerminkan dirinya berprofesi sebagai advokat yang disandangnya, atau berkata-kata kasar kepada klien atau sesama kolega advokat yang tidak bisa mengendalikan emosionalnya, dan lain-lain.

Karena sangatlah tidak pantas seorang advokat yang berpredikat “officium nobile”  (profesi mulia) kemudian bertingkah laku seperti dicontohkan di atas. Diharapkan dengan pemberlakuan “code of conduct” seperti itu maka si advokatpun akan menjaga marwah profesi, nama baik pribadi dan corp’s advokatnya, dengan tingkah lakunya yang wajar dan bisa menjadi contoh yang baik di tengah masyarakat. Catatan : Biasanya code of conduct seperti itu diberlakukan dalam suatu perusahaan yang manajemennya sudah mapan dan sangat menjaga marwah dan nama baik perusahaan dari sikap tercela yang ditampilkan para karyawannya di lingkungan internal dan eksternal kantor perusahaan.

Bahkan OA rasa Ormas ini ada yang menawarkan pelaksanaan PKPA + UPA secara online dengan biaya sekitar Rp. 2 – 3 juta saja, dan dijamin mendapatkan sertifikat dan kelulusan. Ada juga yang bekerjasama dengan institusi pemerintah penegak hukum untuk memfasilitasi pelaksanaan paket PKPA dan UPA bagi penegak hukum yang masih aktif buat persiapan di hari pensiunannya kelak beberapa tahun kemudian, dan setelah resmi pensiun yang bersangkutan langsung bisa berpraktek sebagai Advokat. Seolah melanjutkan profesinya dari karir semula sebagai penegak hukum abdi negara ke penegak hukum berwiraswasta seperti advokat. Bahkan biaya pendidikannyapun ditengarai ditanggung oleh institusi negara tersebut, yang semestinya harus dibiayai oleh para calon advokat itu sendiri. Hal ini jelas berpotensi melanggar pasal 2 ayat (1) UU Tipikor No. 31 tahun 1999.

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan