Hemmen

OA Rasa Ormas

Muhammad Yuntri
Muhammad Yuntri (Foto:Naba SP)

Dari puluhan OA baru rasa Ormas ini telah melahirkan ribuan dan bahkan mungkin juga sudah mencapai puluhan ribu orang. Mereka saling berkompetisi satu dengan lainnya dalam mendapatkan klien. Ada yang berpromosi di Media sosial, ada saling rebutan klien, ada yang saling melontarkan caci maki terhadap sesama kolega advokat di televisi nasional dan lain sebagainya. Selain berani mengklaim diri sebagai advokat juga menjalankan tugas-tugas advokasi hukum di tengah  masyarakat.

Sebagian besar mereka termakan motivasi untuk instan mendapatkan hasil kesuksesan materi dengan motto “high risk high return” saat pendidikan PKPA dan dianggap sebagai profesi yang menjanjikan masa depan. Seolah profesi advokat sebagai mesin uang, asalkan berani bertindak dan berbicara keras, seolah-olah merasa benar. Sehingga wajar mendapatkan income yang tinggi dan hidup lebih layak dibanding profesi yang lain. Apalagi pada diri advokat dilengkapi dengan status sebagai penegak hukum (vide pasal 5 UU Advokat) dengan wilayah kerja meliputi wilayah Republik Indonesia serta melekat juga hak imunitas pada dirinya  dalam menjalankan tugas, dan tidak dapat dituntut secara hukum baik perdata maupun pidana saat menjalankan tugasnya di dalam dan luar pengadilan (vide pasal 16 UU Advokat jo. Putusan MK No. 26/PUU-XI/2013 tanggal 14 Mei 2014).

Padahal mestinya tidaklah demikian, dalam menjalankan tugasnya yang mulia itu (officium nobile), masih banyak aspek yang harus diperhatikan advoakat, antara lain : aspek keilmuan, integritas pribadi, mandiri, kemapanan berpikir, sabar dan santun dalam bertindak, berketerampilan yang cerdas, berpihak dan berpegang teguh kepada nilai-nilai kebenaran hukum positif yang baik serta bertanggungjawab penuh dengan profesinya.

Bagaimanapun juga profesi advokat ini sangat dibutuhkan sebagai peyeimbang tugas kehakiman yang bebas dan mandiri guna terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil dan memiliki kepastian hukum dalam menegakkan kebenaran, dan hak azazi manusia (vide konsideran UU Advokat No.18 Tahun 2003). Sehingga advokat harus mengutamakan tanggung jawab tugas profesinya lebih dulu, sedangkan income yang diperoleh akan sesuai dengan tegenpretige dan tingkat resiko yang dilaluinya atas masalah klien. Dan semestinya lebih menonjolkan motto “low profile,” tapi tegas bersikap dalam membela kebenaran hukum.

Kecenderungan dan fenomena yang terjadi saat ini, banyak advokat yang kurang memperhatikan nilai-nilai di atas yang semestinya dilakoni oleh seorang advokat. Banyak keluhan masyarakat terhadap perlakuan advokat baru yang tidak memuaskan, kurang santun dan bahkan kurang terbuka dengan progress pekerjaannya, padahal klien telah menyetorkan sejumlah besar uang padanya, tetapi belum bisa memperkirakan seperti apa progress pekerjaannya itu, dan seperti apa pula prakiraan hasil yang bakal diperolehnya.

Bahkan ada juga yang tidak sesuai dengan kenyataan sebagaimana yang dijanjikan advokat di awal pekerjaan, karena selama ini pekerjaan tersebut terkesan diakukan setengah hati. Atas kekecewaan dan malpraktik yang kadang terjadi itulah, masyarakat pun bingung harus mengadu kemana ? dan tidak tahu pula bagaimana cara dan prosedur membuat pengaduan terhadap diri si Advokat.

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan