OA Rasa Ormas

Muhammad Yuntri
Muhammad Yuntri (Foto:Naba SP)

Di sisi lain ada juga OA melaksanakan UPA setiap hari kerja jika ada yang mendaftar, maka langsung dilaksanakan UPA saat kedatangannya itu yang materi ujiannya sudah diformat secara khusus bagi semua orang, sedangkan paket pendidikan PKPA ditunda pelaksanaannya di tempat tertentu sampai terkumpulnya calon peserta sesuai quota sekitar 40 orang. Dan masih banyak lagi modus operandi pelaksanaan PKPA & UPA oleh mereka para pengurus OA rasa Ormas tersebut.

Ditengarai, mayoritas pelaksanaan PKPA yang merupakan pendidikan khusus antara strata S1 dan S2 itu mereka lakukan tanpa memiliki izin khusus dari Kemendikbud R.I (vide ketentuan pasal 66 s/d 74 UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003).

Fenomena lainnya adalah, sang Ketua ataupun Presiden OA ibaratnya pejabat yang selalu berusaha menyibukan diri datang ke daerah-daerah untuk acara pelantikan dan atau mendampingi anggotanya mengikuti prosesi sumpah profesi di PT setempat. Dianggap sebagai prestasi, jika OA tersebut sering mengajukan sumpah bagi anggota ke PT setempat, yang terkesan menjadi kebanggaan tersendiri, dan target organisasi dalam rekrutmen dianggap tercapai (berorientasi mencontoh rekrutmen suatu ormas atau orpol). Dan seremonial acara tersebut selalu diekspose melalui media massa atau medsos sebagai bentuk keberhasilan organisasi.

Sehingga nilai-nilai tentang tingkat kepuasan dalam mengabdikan diri guna membela kepentingan dan hak masyarakat selaku klien yang dizhalimi pihak lain bukan lagi menjadi patokan dalam berprofesi. Dan bisa jadi nilai-nilai keberhasilan seorang advokat itu sudah mulai bergeser kepada tingkatan status sosialnya di masayarakat dan keberhasilan mengumpulkan materi melalui organisasi dari hasil rekrutmen para anggotanya.

Dari berbagai fenomena di atas sudah saatnya para advokat senior mengingatkan para juniornya untuk kembali kepada marwah dan tujuan utama dalam menjalankan suatu profesi “officium nobile” ini, sebelum kondisi tersebut semakin bertambah parah. Ada sebagian advokat senior merasa terdegradasi kebanggaannya atas profesi yang ditekuninya selama ini, karena begitu banyaknya pesaing baru yang kurang berkualitas dalam memberi advokasi hukum di masyarakat dan kurang konsistennya dalam memegang teguh kaidah-kaidah dalam menjalani profesi ini. Walau di sisi lain ada juga yang merasa bangga, khususnya bagi advokat pemula. Setelah dilantik sebagai advokat baru, dia bisa langsung berpraktik dan memasang papan nama kantor hukum atas namanya sendiri dengan status “senior partner.” Ibarat pepatah “setelah baca buku langsung praktik,” halmana tidak bakal mungkin mereka temukan pada jenjang karir di pekerjaan sebelumnya.

Semestinya tahapan yang harus diikutinya sebagai advokat pemula, yaitu harus mengikuti proses magang kerja dua tahun di kantor seniornya yang telah berpraktik sebagai advokat minimal lima tahun. Sedangkan untuk mengikuti jenjang karir di profesi ini, advokat baru harus mengikuti tahapan awal lebih dulu sebagai “para legal, junior associate, Associate, senior associate, junior partner, partner dan puncaknya senior partner.” Itulah kondisi “Das Sollen” nya. Tapi kenyataannya “Das Sein” bisa mereka nafikan begitu saja.

Dan pimpinan OA pun tidak mempermasalahkan juga tahapan karir tersebut kepada para anggotanya. Dan setiap tahapan itu bisa dia tempuh sesuai dengan kemampuan analisa secara teori hukum maupun gabungan antara teori dan praktek di lapangan. Waktu tempuhnya sangat relatif sekali, bisa lama atau bisa dalam hitungan lima atau sepuluh tahunan menuju puncak karir tersebut. Sehingga sang Advokat bisa bersikap bijak dan mapan dalam memikirkan strategi & manajerial penangganan suatu kasus lebih efektif dan juga efisien dalam penyelesaian masalah yang akan memberi keuntungan bagi semua pihak termasuk masyarakat/klien sebagai pengguna jasanya dan juga pribadinya. Dan jika penyelesaian masalah bisa  diakhiri dengan suatu perdamaian bersama dengan pihak lawan kliennya tentu akan memberikan nilai tambah bagi prestasi kerja sang Advokat di mata masyarakat. Karena suatu perdamaian itu dianggap wujud keadilan tertinggi bagi semua pihak, karena semua pihak merasa dimenangkan.

Kasus Razman sebagai pelajaran bersama :

Tinggalkan Balasan