Hilirisasi dan Empat Hambatan Kedunguan Kita

Hilirisasi
Dr. Kemal H Dimanjakan (Foto: SP)

“Alih-alih membangun kemandirian industri, hilirisasi justru menambah luka ekologis dan memperdalam ketimpangan sosial. Hutan digunduli, laut dicemari, masyarakat adat digusur, dan nelayan kehilangan wilayah tangkap”

Oleh: Kemal H. Simanjuntak

Di negeri ini, janji punya masa hidup lebih panjang dari logika. Salah satu janji paling glamor dalam beberapa tahun terakhir adalah hilirisasi tambang. Kita didongengi bahwa dengan membangun smelter nikel di dalam negeri, Indonesia akan jadi raksasa energi hijau, produsen baterai dunia, dan pahlawan iklim global. Tapi sebagaimana nasib janji di republik ini, ujungnya bukan kemajuan melainkan kekacauan.

Alih-alih membangun kemandirian industri, hilirisasi justru menambah luka ekologis dan memperdalam ketimpangan sosial. Hutan digunduli, laut dicemari, masyarakat adat digusur, dan nelayan kehilangan wilayah tangkap. Smelter nikel memang berdiri megah, tapi di sekelilingnya, rakyat hidup dalam debu, air keruh, dan harapan yang menguap. Yang kaya makin kaya, yang lokal makin tersisih.

Lebih ironis lagi, ketika publik mengkritik, penguasa baper. Seolah-olah suara rakyat adalah penghinaan, bukan pengingat. Di sinilah kita masuk ke hambatan pertama: Emotion Block hambatan mental yang membuat pejabat kita alergi terhadap kritik. Mereka lebih fokus menjaga perasaan daripada memperbaiki kebijakan. Kritik dianggap sabotase, bukan vitamin demokrasi.

Mereka tersinggung lebih cepat daripada mempercepat perbaikan. Padahal rakyat hanya menanyakan hal sederhana: ke mana sebenarnya arah hilirisasi ini? Kenapa investasi besar hanya melahirkan upah murah dan pencemaran? Kenapa pajak dari tambang tidak cukup menopang APBN, padahal tanah sudah terkupas habis? Mengapa kita masih mengemis teknologi padahal kita pemilik bahan baku?
Namun suara-suara itu sering dibungkam oleh hambatan kedua Cultural Block. Ini jenis kelumpuhan kolektif yang bersandar pada kalimat sakti.

BACA JUGA  Dampak Tren Bahasa Slang di Kalangan Anak Muda

“Memang dari dulu begitu.” Budaya kita sering kali menjadi tempat berlindung dari tanggung jawab perubahan. Asal sudah biasa, berarti benar. Asal sudah ada dari zaman dulu, berarti tak bisa diubah.
Argumen klasiknya begini “Sudah bagus kita hilirisasi, daripada ekspor mentah.” Ini tentu betul.

Tapi jika hilirisasi hanya berhenti pada pabrik pengolahan tanpa transfer teknologi, tanpa penguasaan rantai nilai, tanpa pelibatan masyarakat lokal, maka yang kita bangun bukan kemandirian industri, melainkan pabrik outsourcing berumur pendek. Budaya puas diri membuat kita buta terhadap arah kebijakan yang sebenarnya menjerumuskan dan kebutaan itu semakin parah ketika kita menabrak hambatan ketiga Intellectual Block. Ini bagian menyedihkan dari cerita kita: kemalasan berpikir yang dijadikan gaya hidup.

Para pembuat kebijakan lebih sibuk berburu buzzword dan headline internasional ketimbang membaca kajian akademik. Mereka lebih doyan menerima presentasi investor daripada mendengar suara kampus dan komunitas.
Sudah banyak kritik dari lembaga riset, organisasi lingkungan, bahkan auditor negara tentang carut-marut IUP tambang, tumpang tindih lahan, hingga potensi pencucian uang melalui perusahaan cangkang. Tapi semua itu tenggelam dalam banjir narasi “kemajuan” yang tanpa arah. Internet sudah penuh data, tapi yang dicari tetap validasi dari meme dan pujian kosong.

BACA JUGA  Surat OC Kaligis ke Presiden Jokowi, Bhinneka Tunggal Ika Menghadapi Kehancuran

Dan semua ini berujung pada hambatan keempat: Habitual Block kebiasaan menunda, menumpuk laporan, membentuk tim kerja yang tidak bekerja, dan mengulang pola yang sama. Ketika satu krisis muncul, solusinya adalah kunjungan lapangan, konferensi pers, dan janji baru. Lalu semua kembali seperti semula. Seolah-olah kemajuan itu tinggal di power point, bukan di lapangan.

Inilah potret kita empat hambatan kedunguan itu bukan hanya penyakit individu, tapi sudah menjelma jadi penyakit negara. Ia menginfeksi birokrasi, membius partai politik, dan meninabobokan publik.
Kita tidak sedang kekurangan sumber daya alam kita kekurangan keberanian moral. Kita tidak kekurangan ahli kita kekurangan pendengar.

Kita tidak miskin potensi kita miskin integritas dan disiplin. Karena itulah, hilirisasi kita gagal melahirkan transformasi struktural. Ia hanya jadi panggung untuk memajang investor, bukan alat membangun peradaban. Coba bandingkan dengan Norwegia, misalnya. Negara itu mengenakan pajak tinggi pada perusahaan minyak dan gas, menyimpan keuntungannya dalam sovereign wealth fund, dan menggunakannya untuk pendidikan, kesehatan, serta pensiun rakyatnya.

Mereka tidak alergi pada kritik, tidak malu belajar, dan tidak terjebak pada kebiasaan lama. Sumber daya mereka bukan hanya alam, tapi juga etika publik dan kualitas birokrasi. Indonesia bisa seperti itu. Tapi syaratnya satu: kita harus berani memecahkan empat hambatan tadi. Pemerintah harus berani diaudit secara terbuka. IUP bermasalah harus dicabut. Kontrak tambang harus transparan. Pajak progresif harus diterapkan pada perusahaan super-profit. Dana dari tambang harus kembali ke rakyat dalam bentuk layanan publik.

BACA JUGA  Kenali Ciri-ciri Infeksi Jamur pada Kulit, Gejala dan Cara Mencegahnya

Dan kita, sebagai rakyat, juga harus ikut membersihkan hambatan dalam diri sendiri. Berhenti baper saat dikritik. Berani berpikir di luar kebiasaan. Rajin membaca sebelum memaki. Dan mulai bekerja dengan konsisten, bukan hanya reaktif.
Karena kalau tidak, kita akan terus tenggelam dalam banjir janji.

Negeri ini akan tetap dikuras dari dalam, dikendalikan dari luar, dan dikelola oleh elite yang lebih pandai berjanji daripada membangun. Bukan karena kita bodoh, tapi karena kita terlalu nyaman hidup dalam kedunguan yang kita pelihara sendiri.

*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)