Vonis Akal Sehat: Naik Gaji Hakim 280%, untuk Siapa Keadilan Ditegakkan?

Gaji Hakim
Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK).

“Dalam situasi defisit fiskal yang diperkirakan mencapai Rp586 triliun tahun ini, setiap kebijakan belanja besar seharusnya melewati proses kajian terbuka. Tapi publik hanya tahu kenaikan gaji Hakim ini setelah diumumkan sebagai fait accompli keputusan yang sudah tidak bisa ditolak”

Oleh Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA

Dalam satu keputusan yang tidak hanya mengejutkan, tetapi juga membuat dahi rakyat berkerut panjang, Presiden RI mengumumkan kenaikan gaji hakim sebesar 280 persen. Sebuah angka yang bukan saja fantastis dalam konteks fiskal, tapi juga terasa absurd dalam konteks moral.

Bukan karena hakim tidak pantas dihargai, tetapi karena skema dan waktu pengumuman ini terasa janggal: mendadak, diam-diam, dan tanpa narasi kebijakan yang memadai. Tak ada penjelasan utuh ke publik, tak ada uji publik, dan lebih parah, tak ada keterbukaan perihal konsekuensinya terhadap anggaran negara yang makin sempit napasnya.

Kita bicara soal fakta fiskal yang keras. Belanja pegawai dalam APBN 2024 sudah mencapai Rp 529,7 triliun, dengan beban gaji dan tunjangan ASN pusat dan daerah. Kenaikan gaji hakim hingga 280% berpotensi menambah pengeluaran negara hingga Rp10–12 triliun per tahun, jika dihitung dari sekitar 7.000 hakim yang aktif di berbagai jenjang peradilan.

BACA JUGA  Mencari Model Alternatif P3MI yang Lebih Berkeadilan dan Relevan

Sebuah lonjakan yang diam-diam bisa menggerus prioritas lain: subsidi pendidikan, kesehatan, pengembangan SDM, dan dukungan sosial.
Ironinya, publik justru selama ini menyaksikan betapa lembaga peradilan yang kini diganjar kenaikan gaji superjumbo bukanlah lembaga dengan reputasi kepercayaan tertinggi.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa lebih dari 20 hakim ditangkap KPK dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, dari pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung. Bahkan, skandal besar MA masih segar di ingatan: suap perkara, jual-beli vonis, hingga pengaturan kasus.

Lantas, apa dasar moral dari kenaikan ini?
Pemerintah berdalih ini bagian dari reformasi sistem peradilan dan peningkatan integritas. Tapi bukankah integritas tidak dibeli, melainkan dibangun? Kenaikan gaji bisa jadi salah satu insentif, ya, namun ketika sistem pengawasan internal lemah, dan vonis-vonis keadilan kerap melukai rasa keadilan publik, maka pemberian kenaikan gaji jumbo sebelum perbaikan mendasar justru seperti memberi bonus kepada tim yang gagal lolos babak penyisihan.

Yang lebih mengganggu adalah caranya. Presiden mengambil keputusan ini hampir secara sepihak. Tak ada diskusi terbuka, tak ada paparan roadmap perbaikan sistemik, dan tidak tampak keterlibatan luas lembaga legislatif. Ini menjadi pertanda bahaya, ketika kekuasaan eksekutif mulai bertindak sepihak dalam menyusun kebijakan penggajian lembaga yudikatif yang seharusnya independen.

BACA JUGA  Kemal H Simanjuntak: Pasar Modal Bukan Buat yang Baper

Apakah ini bentuk kooptasi politik atau upaya mengamankan “kenyamanan” putusan hukum di masa depan?
Bandingkan dengan sektor lain. Guru honorer masih berkutat dengan gaji di bawah UMR. Tenaga kesehatan banyak yang belum menerima insentif pasca COVID.

Penyuluh pertanian, garda depan ketahanan pangan, digaji ala kadarnya. Tapi hakim? Sekali ketuk palu, gaji melonjak 3 kali lipat. Bukankah ini justru memperlebar ketimpangan di internal ASN dan menciptakan kecemburuan struktural?
Dari sudut transparansi fiskal, ini juga menjadi preseden buruk.

Dalam situasi defisit fiskal yang diperkirakan mencapai Rp586 triliun tahun ini, setiap kebijakan belanja besar seharusnya melewati proses kajian terbuka. Tapi publik hanya tahu kenaikan gaji ini setelah diumumkan sebagai fait accompli keputusan yang sudah tidak bisa ditolak. Ini tidak mencerminkan tata kelola negara yang demokratis dan berorientasi publik.

Lebih jauh lagi, keputusan ini menunjukkan betapa pemberantasan korupsi kini kehilangan arah moral. Sejak KPK dilemahkan lewat revisi UU, upaya pencegahan nyaris lumpuh. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia stagnan, bahkan menurun. Vonis terhadap koruptor kian ringan, dan celakanya, keadilan kini terasa sangat mahal.

BACA JUGA  Pentingnya Agama Dalam Mengikat Naluri, Panca indra dan Akal

Dalam konteks ini, publik tak bisa disalahkan bila mencurigai: apakah kenaikan gaji hakim ini semata demi independensi, atau demi “menjinakkan” institusi peradilan? Jangan salah. Hakim memang salah satu pilar utama keadilan, dan idealnya mereka hidup layak. Tapi layak bukan berarti mewah. Dan adil bukan berarti boros. Di banyak negara, gaji hakim memang relatif tinggi dibanding ASN

*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK).