Hemmen
Opini  

Kesadaran Hukum Pers, Pendamping Wartawan Bekerja

Kesadaran Hukum Pers, Pendamping Wartawan Bekerja Oleh Mohammad Nasir Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat
Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat, Mohammad Nasir (Dok.SP)

“Materi disampaikan dalam Pelatihan Pra Uji Kompetensi Wartawan PWI Serentak di Provinsi Aceh, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur, 22 Desember 2023.”

Oleh Mohammad Nasir

SEPERTI dalam percakapan dengan siapapun, pasti ada kesadaran etika, kesopanan, dan memilih kata yang pantas untuk diucapkan. Dalam menulis berita juga demikian. Ada hukum pers dan etika yang harus dibaca dan dijadikan kesadaran ketika merencanakan liputan, mencari informasi, wawancara, menulis berita, dan ketika melakukan investigasi.

Hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), serta peraturan terkait pers harus dikuasai sungguh-sungguh supaya tidak bermasalah ketika berita diterbitkan. Wartawan muda biasanya enggan mempelajarinya langsung dari sumbernya. Banyak mereka yang merasa cukup mendengarkan redaktur atau editor mengenai larangan-larangan yang harus dihindari ketika meliput dan menulis berita. Misalnya, wartawan tidak boleh menulis nama lengkap tersangka suatu kasus, tidak boleh menulis dengan memojokkan suatu golongan, suku, dan agama.

Wartawan harus punya kemauan tinggi untuk mencari sumbernya langsung, bukan sekedar diberi masukan oleh editor (wartawan madya). Editor seringkali tidak menjelaskan apa alasan detilnya. Tidak menjelaskan karena alasan klasik: dikejar deadline.

Kalaupun tidak sempat menjelaskan kepada wartawan muda saat mengedit berita, setelah semua pekerjaan redaksi selesai, ajaklah wartawan ngobrol soal tulisannya dan kode etik jurnalistik. Tunjukkan pasal-pasal KEJ yang menjadi rambu-rambu menulis berita. Tunjukkan, ajarkan, dan pastikan kepada wartawan muda tidak melakukan pelanggaran undang-undang pers nomo 40 tahun 1999 tentang pers, KEJ, P3SPS, dan pedoman pemberitaan terkait pers.

Wartawan setingkat redaktur dituntut bagaimana memberikan pemahaman, mengarahkan, dan mengontrol hasil kerja wartawan muda secara sungguh-sungguh. Bukan sambil lalu. Dalam uji kompetensi wartawan jenjang madya, mereka juga dites untuk menganalisa berita yang terdapat pelanggaran hukum pers, KEJ, dan pedoman pemberitaan.

Selanjutnya wartawan muda harus bisa menunjukkan tulisan karyanya berupa berita yang tidak melanggar undang-undang tentang pers, KEJ, dan pedoman pemberitaan yang sudah disahkan oleh Dewan Pers. Sedang wartawan utama atau yang menduduki jabatan structural antara redaktur pelaksana sampai pemimpin redaksi harus memastikan KEJ, undang-undang, dan peraturan terkait pers dilaksanakan di medianya.

Wartawan utama punya kewajiban menciptakan sistem dan mengedukasi bagaimana wartawan muda dan madya mentaati dan melaksanakannya. Misalnya setiap rapat selalu menyisihkan waktu untuk membahas dan mengevaluasi pelaksanaan undang-undang pers, KEJ, dan peraturan terkait pers lainnya. Tujuannya menjadikan hukum pers sebagai kesadaran pendamping wartawan bekerja.

Dalam uji kompetensi wartawan, setiap wartawan akan mendapat soal menurut jenjang masing-masing. Wartawan muda harus tahu pasal-pasal dan peraturan yang menjadi rambu-rambu menulis berita. Jangan hanya mendengarkan redaktur saja tanpa membaca sendiri sumber rambu-rambu tersebut.

Baca dan pastikan di mana pasal-pasal itu berada. Dan, di mana pula pedoman-pedoman pemberitaan itu berada. Semua sudah disebarluaskan, termasuk dalam jaringan internet.

Selain undang-undang tentang pers, dan KEJ yang harus dibaca, wartawan juga harus mendalami Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, Pedoman Pemberitaan Media Siber, Pedoman Pemberitaan Keberagaman, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk radio dan televisi, Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas, Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan, Pedoman hak Jawab, Penerapan hak tolak dan tanggung jawab hukum dalam perkara jurnalistik.

Setelah membaca semuanya, wartawan akan menulis berita dengan aman, tidak melanggar kode etik dan peraturan terkait pers. Wartawan, salah satu profesi yang menjadi tempat bertanya di masyarakat. Kalau ditanya tentang pers pun bisa menjelaskan. Ditanya mengenai demokrasi dan kemerdekaan pers juga harus bisa menjelaskan, karena wartawan bukan hanya berpredikat sebagai buruh industri pers, tetapi juga penjaga pilar demokrasi keempat.

BACA JUGA  Taman Baca Panti Asuhan Amal Wanita di Ciputat Diresmikan PWI Pusat-IKWI

Lihat Pasal-pasal

Kalau ditanya tentang kemerdekaan pers, demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum, silakan pasal 2 UU No 40 Tahun 1999 tentang pers. Untuk membedakan media dan media pers, karena media tidak selalu pers lihat pasal 9 di undang-undang yang sama.

Mengenai perlindungan terhadap pers, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, dan hak tolak di depan hukum, dapat dibaca di pasal 4 undang-undang tentang pers.

Wartawan juga wajib memiliki dan mentaati KEJ yang ditetapkan oleh Dewan Pers 14 Maret 2006. Wartawan Indonesia bersikap independent, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk diatur dalam pasal 1 KEJ.

Apakah wartawan harus professional? Jelas wartawan harus profesional. Wartawan menempuh cara-cara profesional dan tugas jurnalistik (Pasal 2 KEJ). Cara profesional ini antara lain menunjukkan identitas diri kepada narasumber, tidak melakukan plagiat, tidak menerima suap, menghasilkan berita faktual dan jelas sumbernya.

Apakah wartawan boleh menulis berita secara sembarangan karena kebebasannya? Tidak!. Wartawan harus menguji kebenaran informasi, berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah (pasal 3 KEJ). Tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul (Pasal 4 KEJ).

Tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebut identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan (Pasal 5 KEJ). Yang dimaksud identitas di sini adalah semua data dan informasi yang menyangkut seseorang yang memudahkan orang lain melacaknya.

Sebagai catatan, dalam pasal 5 KEJ yang dimaksud anak adalah berusia 16 tahun. Sementara UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan dengan tegas bahwa anak yang dimaksud adalah berumur 18 tahun. KEJ yang disepakati 14 Maret 2006 harus tunduk pada undang-undang perlindungan anak, sehingga KEJ mengikutinya, yaitu yang dimaksud anak adalah berusia 18 tahun.

Kalau ditanya apakah wartawan boleh menerima suap, atau amplop yang di dalamnya berisi uang. Sebagai wartawan kompeten akan tegas menjawab “tidak boleh”. Wartawan tidak menerima suap dan menyalahgunakan profesi (Pasal 6 KEJ). Suap, segala bentuk pemberian, uang, barang, atau fasilitas yang mempengaruhi independensi dalam pemberitaan.

Wartawan juga harus tahu istilah-istilah yang biasa digunakan untuk melindungi narasumber. Ada istilah hak tolak, embargo, dan off the record (pasal 7 KEJ). Hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya. Istilah embargo juga banyak yang belum dipahami. Embargo itu penundaan pemberitaan sesuai permintaan narasumber sampai batas waktu tertentu. Wartawan baru juga harus mengenal istilah off the record (tidak boleh memberitakan) yang disampaikan oleh narasumber.

Tidak menulis berita berdasarkan prasangka dan diskriminasi (Pasal 8 KEJ). Wartawan menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan public (Pasal 9 KEJ).

Soal ralat dan mencabut berita ada di pasal 10 KEJ. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Dan, pasal terakhir, 11 membahas pelayanan hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Pedoman Pemberitaan Media Siber

Ada sejumlah pedoman pemberitaan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers yang harus diperhatikan juga oleh wartawan. Salah satunya adalah pedoman pemberitaan media siber. Pedoman ini dikeluarkan ketika mulai maraknya penerbitan media siber. Peraturan Dewan Pers ini bernomor 1/Peraturan-DP/III/2012.

Pedoman pemberitaan media siber sudah banyak dibaca kalangan pers dan pembaca, kerena pedoman ini wajib dicantumkan di media siber. Masyarakat yang akan memberi komentar juga harus tahu pedoman ini.
Media siber mempunyai karakter khusus, berbasis internet, dan masih tetap harus mematuhi UU Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan KEJ, serta pedoman pemberitaan dan peraturan terkait pers. Pedoman ini membahas juga mengenai verifikasi, menguji kebenaran informasi yang akan menjadi bahan berita, dan keberimbangan berita.

BACA JUGA  OC Kaligis ke Erick Thohir: Hanya Minta Uang Kami di Jiwasraya Kembali

Apabila berita belum cukup lengkap, media harus menjelaskan kepada pembaca bahwa berita yang sudah dimuat itu masih memerlukan verifikasi lebih lanjut, dan akan diupayakan secepatnya. Penjelasan dimuat di bagian akhir berita, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.

Dalam pedoman ini juga disebutkan tentang isi buatan pengguna (user generated content), pedoman ralat, koreksi, dan hak jawab, pencabutan berita, iklan, hak cipta, pencantuman pedoman, dan sengketa pemberitaan.

“Berita yang sudah dipublikasikan tidak dapat dicabut karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi, kecuali terkait masalah SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatic korban atau berdasarkan pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers,” demikian salah satu butir pedoman pencabutan berita.

Pencabutan berita wajib disertai alasan pencabutan dan diumumkan kepada publik. Media siber lain juga wajib mengikuti pencabutan kutipan berita dari media asal yang telah dicabut.

Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman

Dewan Pers mengeluarkan peraturan No. 02/Peraturan DP/XI/2022 tentang Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman. Semangatnya menghormati hak asasi manusia, setiap orang memiliki hak yang sama, hak bersuara, berpendapat, setara dengan yang lain.

Wartawan dituntut menghormati keberagaman sejak dari merencanakan liputan, memilih narasumber yang kompeten, sampai pemberitaan. Dalam menulis berita, wartawan juga diminta tidak memilih kata-kata yang mengandung kebencian, dan memberi atribusi narasumber yang sesuai, tidak merendahkan.

Dasar pemberitaan keberagaman, wartawan menjunjung tinggi konstitusi dengan menggunakan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan gender. Dalam konteks keberagaman wartawan juga harus mentaati KEJ, serta mengutamakan kemanusiaan dengan memperhatikan kelompok rentan, disabilitas, orang pada wilayah tertentu, dan orang dengan kondisi tertentu.

Dalam pemilihan topik liputan, wartawan mempelajari latar belakang peristiwa terkait dengan isu keberagaman, dan memiliki sensitivitas, mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi ketika memberitakan isu keberagaman.

Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas

Dewan Pers juga telah mengeluarkan peraturan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas. Pedoman ini menuntun para wartawan berempati dalam memilih kata-kata dalam pemberitaan. Ada sejumlah terminologi yang tepat terkait pemberitaan penyandang disabilitas. Wartawan juga bisa bertanya kepada subyek penyandang disabilitas terkait kalimat yang akan digunakan dalam pemberitaan/menulis berita.

Hindari penggunaan kata/kalimat:

  1. Orang yang mengalami gangguan penglihatan.— ganti dengan— Netra
  2. Cacat —- ganti dengan— penyandang disabilitas
  3. Orang gila — ganti dengan — orang dengan gangguan jiwa, orang dengan skizoprenia
  4. Gagu — ganti dengan — penyandang disabilitas wicara
  5. Idiot, terbelakang — ganti dengan — penyandang disabilitas intelektual
  6. Untuk orang non disabilitas— ganti dengan—non disabilitas
  7. Lumpuh – ganti dengan —penyandang disabilitas fisik
  8. Dan seterusnya.

Pers Penyiaran

Penting diketahui pula tentang apa saja larangan yang tertuang dalam UU No 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran. Ini penting bagi wartawan radio dan televisi.

Ada bagian yang sama rambu-rambu larangannya dengan media cetak dan siber. Tetapi juga ada sejumlah perbedaan karena cara kerjanya berbeda.

Hal yang sama bisa kita lihat di pasal 36 undang-undang penyiaran. Persisnya di ayat (5) dinyatakan, isi siaran dilarang: Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong, menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang, mempertentangkan suku, agama, ras dan antar golongan. Ayat (6) isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

BACA JUGA  Energi Penggerak Ekonomi

Pelanggar dua ayat pasal 36 tersebut, dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1000.000.000 (satu miliar rupiah) untuk penyiaran radio. Sedang penyiaran televisi dikenakan Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama lima tahun.

Sedang yang berbeda, wartawan penyiaran (radio dan televisi) juga harus mematuhi peraturan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) atau kalua digabung menjadi P3SPS, seperti diatur dalam pasal 7, ayat (2) UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dalam ringkasan presentasi Ahli Pers Dewan Pers Kamsul Hasan, dapat ditelusuri pasal per pasal sehingga wartawan penyiaran paham betul. Dalam P3, wartawan penyiaran wajib baca pasal 22 Pedoman Perilaku Penyiaran, pasal 23 pencegatan atau wawancara cegat/door step, pasal 24 peliputan terorisme, pasal 25 peliputan bencana, pasal 26 perekam tersembunyi, pasal 27 penjelasan kepada narasumber, pasal 28 persetujuan narasumber, pasal 29 anak sebagai narasumber, pasal 30 hak menolak narasumber, pasal 31 identitas narasumber wawancara, 32 perekam tersembunyi non jurnalistik, pasal 33 dan 34 sumber informasi dan hak siar, pasal 35 pewawancara.

Prinsip Jurnalistik Standar Program Siaran (SPS), pasal 40 standar program siaran, pasal 41 reka ulang, pasal 42 gambar dokumentasi, pasal 43 muatan kekerasan dan kejahatan, penyamaran terduga pekerja seks komersial, pasal 45 peliputan terorisme, 46, 47, dan 48 peliputan sidang dan kasus hukum, pasal 49, 50, dan 51 peliputan bencana, pasal 52 peran serta masyarakat.

Perlindungan Profesi Wartawan

Apa yang dimaksud dengan perlindungan hukum? Pasal 8 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Yang dimaksud perlindungan hukum adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagaimana kalau terjadi sengketa pemberitaan pers? Pers yang bekerja untuk kepentingan umum, keadilan, demokrasi, serta supremasi hukum mendapat perlindungan.

Perlindungan itu antara lain nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Dewan Pers dan Kepala Kepolisian RI tahun 2017. MoU ini tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakan hukum terkait penyalahgunaan profesi wartawan. Inti dari MoU ini, pihak kepolisian akan minta pendapat kepada Dewan Pers apabila menangai sengketa pers akibat pemberitaan.

Salah satu bentuk perlindungan lainnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli. SEMA ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri untuk meminta keterangan dari seorang saksi ahli di bidang pers ketika pengadilan menangani perkara sengketa pers. Ahli pers yang dimaksud adalah ahli dari Dewan Pers atau yang ditunjuk Dewan Pers.(*)

Materi disampaikan dalam Pelatihan Pra Uji Kompetensi Wartawan PWI Serentak di Provinsi Aceh, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur, 22 Desember 2023

*Mohammad Nasir adalah wartawan senior yang saat ini menjabat Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat

Barron Ichsan Perwakum