Kisah di Balik Naturalisasi Maarten Paes 

Cerita Maarten Paes Sebelum Bela Garuda
Kiper Timnas Indonesia Maarten Paes (Foto:Fox)

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Nama Maarten Paes jadi buah bibir dan trending topik di media sosial pasca tampil gemilang bersama Timnas Indonesia pada kualifikasi Piala Dunia 2026.

Namun di balik proses naturalisasi Maarten Paes hingga bisa menjaga gawang Timnas Garuda, terdapat cerita tersendiri.

Kemenkumham Bali

Meski Maarten Paes sendiri tidak memiliki darah Indonesia, namun latar belakang sejarah keluarganya menjadi alasan utama mengapa ia memenuhi syarat untuk dinaturalisasi.

Buyut Paes adalah seorang “Belgivers”, sebutan untuk para pendatang Eropa murni yang lahir dan menetap di Hindia Belanda, kini dikenal sebagai Indonesia.

Kedua buyut Paes merupakan orang Eropa asli yang menikah dan menetap di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.

BACA JUGA  Patrick Womsiwor Tak Lagi Bela Persipura

Mereka menetap di Kediri, Jawa Timur, dan melahirkan nenek Paes pada tanggal 20 Maret 1940.

Paes dengan keturunan Belgivers dan prestasi sepak bola yang luar biasa, dinilai telah memenuhi naturalisasi sebagai pemain sepak bola di Indonesa.

Penjaga gawang FC Dallas itu mengaku senang dapat memperkuat skuad Garuda. Ia menilai orang-orang di Indonesia sangat ramah sehingga membuat merasa seperti di rumah sendiri.

“Nenek saya berada di sana selama lima atau enam tahun, dia lahir di Indonesia,” ujar Maarten Paes dilansir dari YouTube FC Dallas, Rabu (11/9/2024).

Selain itu, alasan kuat Paes menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah setelah mendengar kisah hidup neneknya.

BACA JUGA  Luis Milla Masih Pantau Performa Ezra Walian

“Dia (nenek) angat memiliki pengaruh yang sangat besar dalam hidup saya. Jadi itulah alasan mengapa saya memilih untuk membela negara Indonesia pada olahraga sepak bola karena buat saya ini menjadi penghargaan terbesar untuknya,” tuturnya.

Menurutnya, apa yang menjadi bagian sejarah dari neneknya diketahui setelah Nel Appels-van Heyst mencurahkan isi hatinya tentang Indonesia.

“Nenek selalu berbicara dengan rasa syukur tentang waktunya di sana terutama waktu sebelum perang dan ketika perang, dia kehilangan ibunya di tempat perisolasian tetapi dia selalu berbicara dengan rasa hormat yang tinggi terhadap bangsa dan negara,” ungkap pria kelahiran Belanda 14 Mei 1998 itu.(berbagai sumber/01)