Hemmen
Hukum  

OC Kaligis: Penggantian Hakim Aswanto oleh Guntur Hamzah Langgar Konstitusi

OC Kaligis
OC Kaligis (dok.SP)

“Dengan peristiwa tersebut, dapat dimengerti bila banyak ahli hukum berpendapat bahwa mungkin Indonesia bukanlah lagi termasuk negara hukum. Semoga pendapat tersebut keliru.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Pengacara senior OC Kaligis menyoroti pergantian Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto oleh Guntur Hamzah atas usulan DPR-RI. Dirinya mengaku kaget dengan penggantian Hakim Konstitusi atas usulan DPR-RI yang dinilainya melanggar konstitusi.

Kemenkumham Bali

“Sebagai praktisi hukum dan seorang akademisi, saya cukup terkejut membaca berita tentang penggantian Hakim Konstitusi atas usul DPR. Hakim Konstitusi Prof. Aswanto diganti oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah,” kata OC Kaligis, dalam keterangannya, Jumat (25/11/2022).

Menurutnya, pengangkatan Guntur Hamzah dan penggantinya Aswanto, mestinya dimulai dari usulan Ketua MK.

OC menyayangkan sekalipun kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, intervensi DPR yang dinilainya melanggar konstitusi uan UU MK tetap saja dilaksanakan.

“Saya teringat Dr. Hamdan Zoelva yang menolak untuk diuji menjelang masa jabatannya yang kedua kalinya. Sebagai seorang hakim tidak pantas untuk mengikuti proses seleksi kelayakan kembali, artinya sama halnya seperti meragukan kredibilitas dan integritasnya,” ungkapnya penulis buku “KPK Bukan Malaikat” itu.

Akibat menolak uji kelayakan itu, kata OC Kaligis, mantan anak buahnya itu pun mengundurkan diri sebagai Hakim MK.

“Saya yang berpraktik sebagai praktisi di Mahkamah Konstitusi, setahu saya putusan putusan mereka tidak selalu dibuat secara aklamasi. Setiap kali menjelang putusan, tiap-tiap hakim memberi pertimbangan hukum secara independen, sehingga sering terjadi adanya dissenting opinion,” katanya.

Ia menyebut pengangkatan Guntur Hamzah sebagai Hakim MK memang istimewa, karena tidak melalui uji kelayakan, tidak melalui rekam jejak dan wawancara, tidak melalui seleksi terbuka pun tidak melewati Panitia seleksi (Pansel).

“Ini menandakan bahwa kedudukan Hakim Konstitusi, tidak lagi aman, alias setiap waktu dapat dilengserkan melalui usul DPR-RI,” sebutnya.

Menurut OC Kaligis, yang tidak menyetujui usulan DPR adalah sebagian ahli hukum yang hendak mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Menurut saya akan sia-sia apalagi setelah Bapak Presiden memberikan persetujuan atas usulan DPR tersebut, karena sekalipun pelantikan Guntur Hamzah tepat dilakukan sebelum putusan MK yang menganulir usulan DPR, dengan diktum MK, tidak sahnya usul DPR RI mengganti Prof. Aswanto, tetap saja putusan MK tersebut dikesampingkan,” katanya.

Selain itu, menurut OC Kaligis penunjukan langsung Guntur Hamzah belum tentu dirasakan nyaman oleh para Hakim MK saat ini yang tidak menyetujui usulan DPR terkait pergantian Aswanto.

“Sekalipun mungkin Prof. Aswanto di dalam hati kecilnya tidak menyetujui penghentian dirinya, Prof Aswanto secara sangat santun di media menyatakan menerima putusan Presiden tersebut. Alasannya telah cukup mengabdi di Mahkamah Konstitusi, sehingga beliau berpendapat masa baktinya di MK sudah cukup,” tuturnya.

OC berpandangan kehadiran Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi, jelas berlawanan dengan para hakim pemutus yang tidak menyetujui pengangkatannya melalui usulan DPR-RI.

“Bukankah putusan MK tersebut adalah hasil Putusan MK dalam kedudukannya sebagai the guardian of constitution. Fungsi pengawalannya mungkin dengan peristiwa ini, sudah menjadi pupus,” sebutnya.

“Lebih berbahaya lagi, menjelang Pemilihan Calon Presiden tahun 2024 mendatang,” tambah OC Kaligis.

Ia juga menilai putusan MK yang menjadi sorotan DPR-RI, bila putusan tersebut dalam anggapan mereka berlawanan dengan kehendak penguasa, bisa saja Hakim Konstitusi lainnya mengalami nasib “di-Aswanto-kan”.

“Padahal sumpah para Hakim Konstitusi sesuai Pasal 21 UU Nomor 24 Tahun 2003 adalah taat kepada UUD 45 dan semua undang-undang yang berlaku,” ujarnya.

“Tadinya saya berpendapat bahwa Putusan MK adalah putusan final dan mengikat,” ucapnya.

Dari uraian analisis politik, bukan analisis hukum yang dikemukakan Bivitri Susanti, ia bisa menyimak alasan politik usul penggantian tersebut, karena katanya banyak putusan Aswanto dianggap melawan kehendak pembuat undang-undang.

“Lalu menjadi pertanyaan, dimana letak putusan yang kolegial itu, yang melawan kehendak DPR atau melawan undang-undang?,” katanya mempertanyakan.

Sepengetahuan dirinya seorang Hakim Konstitusi atau tiap-tiap Hakim Konstitusi, sebelum putusan, bebas memberi pertimbangan hukumnya sendiri sendiri secara independen.

“Saya termasuk yang mengamini analisa politik saudara Bivitri Susanti mengenai runtuhnya pilar-pilar negara hukum,” tandasnya.

“Dengan peristiwa tersebut, dapat dimengerti bila banyak ahli hukum berpendapat bahwa mungkin Indonesia bukanlah lagi termasuk negara hukum. Semoga pendapat tersebut keliru,” pungkasnya.

Dilantik Jokowi 

Seperti diketahui Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi melantik Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi menggantikan Awanto di Istana Negara, Jakarta, pada Rabu (23/11/2022) lalu.

Aswanto diberhentikan oleh DPR karena dinilai memiliki kinerja yang mengecewakan.

“Tentu kami kecewa karena setiap produk DPR selalu dianulir sama dia (Aswanto). Padahal dia wakilnya dari DPR … Itu nanti bikin susah,” kata Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto, belum lama ini.

Pemberhentian Hakim MK oleh DPR tersebut dinilai oleh berbagai pihak sebagai langkah pengancaman terhadap independensi Mahkamah Konstitusi. Salah satu kritik dilontarkan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti.

“Independensi peradilan itu prinsip penting secara global. Hakim tidak boleh ‘dievaluasi’ di tengah masa jabatannya secara politik oleh lembaga politik berdasarkan putusannya,” kata Bivitri.(tim)

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan