Hemmen

Organisasi Pelindung Satwa Minta Pemerintah Lindungi Monyet

Aksi Koalisi "Primates Fight Back", gabungan dari berbagai organisasi pelindung satwa, seniman, dan komunitas konservasi di Indonesia di depan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Jakarta, Senin (12/12/2022)/Dok.AFJ

JAKARTA|SUDUTPANDANG.ID – Sejumlah massa yang tergabung dalam koalisi “Primates Fight Back”, gabungan dari berbagai organisasi pelindung satwa, seniman dan komunitas konservasi di Indonesia menggelar aksi di depan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Senin (12/12/2022).

Mereka meminta meminta agar Menteri KLHK untuk memasukkan monyet sebagai satwa yang dilindungi dalam Permen KLHK No.20 Tahun 2018.

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

“Kami meminta pembaharuan Permen No.20 Tahun 2018 agar monyet juga ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi,” pinta para peserta aksi.

Dalam aksi, mereka mengenakan topeng Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar serta sejumlah influencer yang terkenal dengan konten satwa liar. Anggota Koalisi Primates Fight Back gabungan dari berbagai organisasi pelindung satwa, seniman, dan  komunitas konservasi di Indonesia juga berdiri sambil memegang poster tentang kekejaman terhadap monyet.

Hadir juga perwakilan dari platform petisi Change.org, dan relawan yang menyerahkan setidaknya 51.000 ribu tanda tangan pendukung secara simbolis, akumulasi dari empat petisi yang dimulai oleh anggota koalisi.

Berangkat dari kasus perburuan, perdagangan, juga kekerasan, keempat petisi tersebut berisi tuntutan yang sama terhadap pemerintah Indonesia agar memberikan perlindungan hukum kepada monyet dan beruk.

Penyerahan tanda tangan kemudian ditindaklanjuti audiensi dengan perwakilan Direktorat KKH, Humas KLHK, dan Gakkum KLHK. Audiensi itu membahas langkah formal yang perlu dilakukan untuk menetapkan monyet sebagai satwa dilindungi.

Pertemuan berlangsung hampir satu jam, namun perwakilan KLHK menolak memberikan pernyataan resmi terkait tuntutan koalisi.

Aksi Koalisi “Primates Fight Back”, gabungan dari berbagai organisasi pelindung satwa, seniman, dan komunitas konservasi di Indonesia di depan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Jakarta, Senin (12/12/2022)/Dok.AFJ

Dalam kesempatan ini, diadakan juga pertunjukan teatrikal oleh Wanggi Hoed, seniman pantomim dan anggota koalisi bersama rekannya, Raheli dan Fernando. Mereka menampilkan representasi penderitaan yang dialami monyet akibat eksploitasi oleh manusia.

Wanggi merupakan seniman pantomim yang aktif menyuarakan isu-isu sosial, budaya, Hak Asasi Manusia (HAM), dan satwa liar, termasuk primata di Indonesia.

Kehadiran berbagai pihak yang tergabung dalam koalisi di Kantor KLHK adalah manifestasi puncak keresahan pengabaian tindak kekejaman yang terjadi terhadap monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) oleh pemerintah Indonesia.

Laporan Macaque Coalition Asia for Animals

Berdasarkan Pada bulan Oktober 2022, Macaque Coalition Asia for Animals menerbitkan “The MacaqueReport, Indonesia’s Unprotected Primates”.

Dalam laporan terbaru ini, disebutkan bahwa keterampilan monyet mencari sumber makanan hingga ke kawasan hidup manusia disalahartikan sebagai populasi monyet liar melimpah.

Mereka kemudian dilabeli sebagai “hama” yang menjadi pembenaran beberapa pihak untuk memburu dan memisahkan bayi monyet dari orangtuanya, menjual di pasar sebagai peliharaan, menyiksa, dan membunuh kawanan monyet dalam jumlah besar.

Kenyataannya, dalam beberapa dekade terakhir jumlah monyet di alam liar terus menurun.

“Sudah terlalu lama negara melakukan pembiaran terhadap segala tindak kejahatan yang terjadi terhadap monyet dan beruk, yang mengancam hak hidup mereka di hutan. Dengan tidak menetapkan mereka sebagai satwa dilindungi, berarti negara turut andil dalam depopulasi kedua spesies tersebut, dan membiarkan terjadinya konflik serta terganggunya keseimbangan lingkungan,” ungkap Fiolita Berandhini S.H., dari Animal Don’t Speak Human(ADSH), dalam keterangan pers kepada Sudutpandang, Senin (12/12/2022).

Macaque Coalition juga menggarisbawahi peningkatan nyata eksploitasi monyet, berupa naiknya aktivitas penangkapan liar, peningkatan ekspor untuk tujuan biomedis, dan konten kekejaman online seperti yang terekam dalam investigasi Narasi berjudul “Indonesia Surga Penjagal Bayi Monyet”.

Sebelumnya Maret 2022, The International Union for Conservation of Nature (IUCN) menaikkan status monyet ekor panjang dan beruk dari rentan (vulnerable) menjadi terancam punah (endangered).

Populasi kedua spesies ini juga terus menurun akibat alih fungsi lahan untuk pemukiman, kawasan ekonomi, pertanian dan perkebunan, serta perburuan.

Aksi hari ini tak lepas dari rangkaian aksi nasional yang akan berlangsung hingga Januari 2023.

“Saat ini spesies monyet ekor panjang dan beruk di Indonesia sudah terancam. Kami tidak akan berhenti hingga Menteri Siti Nurbaya memberikan perlindungan hukum kepada mereka,” kata Angelina Pane, juru bicara koalisi sekaligus Manajer Kampanye AnimalFriends Jogja (AFJ).

Dari kantor KLHK, relawan berpindah ke kawasan Patung Kuda, Jl. Medan Merdeka Barat, dan kembali menyampaikan aspirasi hingga pukul 15.30 WIB.

Aksi kali ini mendapat dukungan warga Jakarta yang melintas, berupa solidaritas untuk monyet dengan bergabung ke dalam aksi, dan menyebarkan poster tuntutan di akun media sosial masing-masing.

Tak hanya di Jakarta, sebelumnya aksi serupa juga berlangsung di Kediri, Jawa Timur. Kemudian di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, pada pekan lalu.

Primates Fight Back

Primates Fight Back adalah koalisi yang terdiri dari berbagai organisasi pelindung satwa, seniman, juga komunitas konservasi dari berbagai daerah di Indonesia.

Organisasi ini dibentuk untuk memperjuangkan akhir dari eksploitasi dan kekerasan yang dialami spesies monyet ekor panjang dan beruk yang saat ini terancam punah.(PR/01)

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan