Hemmen

Pasal 30 UU Kejaksaan, Memicu PK Atas PK

Stefanus Gunawan, S.H., M.Hum (Foto:dok.SP)

“Mestinya para pembentuk undang-undang mempelajari terlebih dahulu penetapan MK sebelum mengesahkan Pasal 30 UU Kejaksaan. Saya pikir, bakal dibatalkan karena bertentangan dengan konstitusi.”

Oleh Stefanus Gunawan, SH, M.Hum

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

Pada 7 Desember 2021, DPR RI telah mengesahkan perubahan atas Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Dari sebelas poin ketentuan yang direvisi, salah satunya adalah perihal kewenangan Jaksa berhak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA).

Kewenangan Jaksa termaktub dalam Pasal 30 UU Kejaksaan, di mana dijelaskan kalau PK yang dilakukan Kejaksaan adalah tugas dan tanggung jawab mewakili negara dalam hal melindungi kepentingan korban, juga bagi negara, dan memposisikan kedudukan Jaksa seimbang (equality of arms principle) dan sama dengan hak terpidana atau ahli waris dalam hal mengajukan PK.

Namun demikian, ketentuan itu ternyata menimbulkan reaksi keras dari kalangan akademisi dan praktisi hukum, mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusan No. 33/PUU- XJV/2016 yang dibacakan pada tanggal 12 Mei 2016 terkait permohonan Anna Boentaran, istri Djoko Tjandra, terpidana kasus Bank Bali, secara tegas melarang Jaksa menempuh upaya hukum tersebut.

Secara hukum Jaksa tidak bisa mengajukan PK. Hal ini sudah menjadi keputusan MK, terkait adanya judicial review Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke MK oleh keluarga terpidana tentang adanya upaya hukum Jaksa mengajukan PK.

Putusan MK itu cukup jelas, yang berhak mengajukan permohonan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, seperti disebutkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP.

Namun, jika sampai kejadian Jaksa mengajukan permohonan PK seperti pada perkara Muchtar Pakpahan yang dituduh mendalangi demo buruh, serta kasus Bank Bali yang melibatkan Djoko Tjandra, adalah kekeliruan peradilan. Upaya ini dapat dikategorikan penerobosan aturan KUHAP, dan tindakan sewenang-wenang terhadap ketentuan hukum.

Semestinya para pembentuk undang-undang yang mengesahkan revisi UU Kejaksaan paham bunyi Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yakni “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”

Cukup jelas, bukan?. Bunyi pasal itu mesti dimaknai, bahwa Jaksa tak punya wewenang mengajukan PK. Jika itu dilakukan, apalagi kemudian dikabulkan oleh MA, maka akan terjadi pelanggaran prinsip PK itu sendiri.

Prinsip PK yang dilanggar, yaitu terhadap subjek dan objek PK. Subjek PK adalah terpidana atau ahli warisnya. Adapun objeknya berupa putusan di luar putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Dua Pandangan

Terkait kewenangan Jaksa mengajukan PK sebagaimana ketentuan pada Pasal 30 UU Kejaksaan, pasti akan dibatalkan oleh MK. Hal ini mengingat putusan MK No. 33/PUU-XJV/2016 tanggal 12 Mei 2016 cukup jelas, bahwa jaksa tidak bisa PK kecuali terpidana atau ahli warisnya.

Bukan lantaran ada kewenangan di UU Kejaksaan, kemudian MK membuat dua pendapat yang berbeda terhadap satu persoalan. Misal, sebelumnya PK dinyatakan hak terpidana, lalu berubah menjadi hak Jaksa. Jelas itu tidak mungkin.

Jika MK menerbitkan dua pendapat berbeda, berarti lembaga tersebut tak lagi kredibel, tidak bisa memberikan kepastian hukum. Jauh dari harapan berkeadilan. Padahal MK merupakan lembaga yang memberikan kepastian hukum kepada warga negara.

Dalam kaitan ini, mestinya para pembentuk undang-undang mempelajari terlebih dahulu penetapan MK sebelum mengesahkan Pasal 30 UU Kejaksaan. Saya pikir, bakal dibatalkan karena bertentangan dengan konstitusi.

PK Atas PK

Penulis mengingatkan, pada hakikatnya filosofis PK merupakan kepentingan terpidana atau ahli warisnya sebagai bentuk perlindungan HAM. Bukan mewakili kepentingan negara atau korban, sebagaimana kewenangan Jaksa.

Jika esensi dihilangkan, maka lembaga PK kehilangan maknanya, dan tentu tak berarti lagi. Oleh karena itu, MA semestinya tak lagi menerima permohonan PK yang diajukan oleh Jaksa. Ini demi kepastian hukum yang berkeadilan, MA harus tegas kembali kepada Pasal 263 ayat (1) KUHAP, tak ada hak Jaksa mengajukan PK.

Apabila MA mengabulkan permohonan PK Jaksa, dengan sendirinya terpidana atau ahli warisnya juga berhak mengajukan PK atas PK Jaksa. Upaya ini tidak bisa ditolak, mengingat hak terpidana dirumuskan di dalam KUHAP.

Jika itu sampai kejadian, selain melanggar prisip PK, juga akan menimbulkan upaya PK di atas PK. Memang belum ada rumusannya, tapi ya itu solusi dari tindakan adanya penerobosan hukum. Sekalipun ada Surat Edaran (SEMA) No 10 Tahun 2009 yang melarang PK lebih dari sekali, MA harus mengabulkan PK di atas PK.

Kesewenangan terhadap hukum harus dilawan, jika tidak, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi warga negara.(*)

Penulis adalah:

  • Ketua DPC Peradi Jakarta Barat (Peradi SAI)
  • Ketua LBH Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Jabodetabek
  • Ketua LBH Serikat Pemersatu Seniman Indonesia (SPSI)
  • Penerima penghargaan ‘The Leader Achieves In Development Award’ dari ‘Anugerah Indonesia’ dan ‘Asean Development Citra Award’s dari Yayasan Gema Karya
Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan