Opini  

UKW: Ujian Kerendahan Hati Seorang Wartawan 

Avatar photo
UKW dan Kerendahan Hati Seorang Wartawan
Foto ilustrasi

“UKW bukan tentang selembar sertifikat, melainkan keberanian wartawan untuk diuji ulang pada nalar, etika, dan kerendahan hati.”

Oleh Rukmana

Di tengah upaya menuntaskan studi Magister Hukum, saya kembali dihadapkan pada satu ruang ujian yang tak kalah menegangkan, yakni Uji Kompetensi Wartawan (UKW) jenjang utama level Pemimpin Redaksi. Dua hari berlangsung di Hall Dewan Pers Jakarta, Jumat-Sabtu, 12-13 Desember 2025, menjadi jeda reflektif di tengah rutinitas akademik dan kerja jurnalistik yang selama ini saya jalani. Bukan semata soal lulus atau tidak lulus, melainkan soal menakar kembali sejauh mana saya masih layak menyebut diri sebagai wartawan.

UKW kerap dipersepsikan sekadar prosedur administratif syarat formal untuk naik jenjang atau mengantongi sertifikat. Namun, pengalaman mengikuti UKW yang difasilitasi Dewan Pers kali ini mengingatkan saya bahwa profesi wartawan, betapapun lamanya dijalani, selalu menuntut pembaruan sikap dan disiplin.

Dari 36 peserta yang datang dari beragam latar organisasi PWI, AJI, PFI, IJTI, hingga perguruan tinggi, setiap orang membawa cerita, ego, dan pengalaman masing-masing. Di ruang itulah, semuanya dilebur dalam standar yang sama.

BACA JUGA  Hukum Dapat Memaafkan Manusia Bersalah

Penilaian berlangsung ketat dan detail. Bahkan, hal-hal yang kerap dianggap sepele dalam praktik harian, titik, koma, pilihan kata sambung tak luput dari perhatian. Pada jenjang utama, pengujian tak berhenti pada kemampuan teknis menulis. Ia masuk ke wilayah yang lebih mendasar, bagaimana rapat redaksi dijalankan, bagaimana sebuah isu dianalisis, bagaimana tajuk rencana disusun, dan yang paling krusial bagaimana kode etik jurnalistik benar-benar dipahami dan diterapkan.

Saya mencatat dengan saksama cara penguji menggali proses berpikir peserta. Direktur Lembaga Uji Kompetensi PWI, Aat Surya Safaat, dengan latar panjang di LKBN ANTARA, termasuk sebagai Kepala Biro New York, menunjukkan bahwa profesionalisme jurnalistik tidak lahir dari hafalan teori, melainkan dari kebiasaan bersikap. Objektivitas dan ketegasan dalam penilaian justru menjadi pelajaran tersendiri: bahwa wartawan harus siap diuji, bahkan oleh standar yang ia banggakan sendiri.

Bagi saya pribadi, UKW menjadi pengingat akan asal-usul. Karier jurnalistik saya bermula pada 2006 di media komunitas di Kalimantan Barat sebuah ruang belajar yang mengajarkan kedekatan dengan warga dan kejujuran pada fakta. Bertahun-tahun kemudian, dengan pengalaman lintas liputan dan jabatan, godaan terbesar justru sering datang dari rasa merasa “sudah tahu”. UKW mematahkan ilusi itu. Ia memaksa kita kembali ke meja dasar, memeriksa ulang nalar, etika, dan tanggung jawab sosial.

BACA JUGA  Reformasi Kepolisian

Di sinilah UKW menemukan relevansinya. Di tengah lanskap media yang kian kompleks dengan tekanan kecepatan, klik, dan polarisasi uji kompetensi menjadi pagar yang mengingatkan bahwa kepercayaan publik adalah modal utama jurnalisme. UKW bukan sekadar tes pengetahuan, melainkan pengujian integritas, sejauh mana wartawan memegang objektivitas, kejujuran, kebenaran, serta penghormatan terhadap privasi dan martabat manusia.

Sebagai Ketua Bidang Hukum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat, saya melihat langsung tantangan hukum dan etik yang dihadapi media. Sengketa pemberitaan, misinformasi, hingga kriminalisasi jurnalis kerap berakar pada praktik yang abai pada standar. Dalam konteks itu, UKW menjadi salah satu instrumen penting bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memastikan fondasi profesi tetap kokoh.

Ucapan selamat yang datang dari berbagai pihak, termasuk dari Humas Taipei Economic and Trade Office (TETO), Mepi Lin, saya terima dengan rasa syukur. Namun, kelulusan bukanlah garis akhir. Ia justru menjadi pengingat untuk bekerja dengan lebih rendah hati. Sertifikat kompeten tidak otomatis membuat karya kita benar, ia hanya menegaskan komitmen untuk terus memeriksa diri.

BACA JUGA  Pelaksanaan Hari Pers Nasional 2025 dan Legitimasi Kuat Kepengurusan PWI Pusat Secara Empiris

Pada akhirnya, UKW mengingatkan bahwa menjadi wartawan bukanlah status yang pernah selesai, melainkan proses belajar seumur hidup. Di antara logika hukum yang terus diasah dan kerja jurnalistik yang menuntut kepekaan nurani, ujian sesungguhnya terletak pada kesetiaan menjaga etika, bahkan ketika tak ada yang mengawasi. Dari situlah harapan jurnalisme tumbuh, pada martabat profesi yang dirawat setiap hari, melalui berita yang jujur, berimbang, dan bertanggung jawab.

*Penulis adalah Redaktur Pelaksana Media Sudut Pandang