Hemmen

Surat Terbuka OC Kaligis: Perempuan Terpidana Mati Menanti Grasi Jokowi

OC Kaligis
OC Kaligis (Dok.SP)

Jakarta, 3 Maret 2023
Nomor : 199/OCK.III/2023
Perihal : Perempuan Terpidana Mati

SURAT TERBUKA

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

Kepada Yth,
Presiden Republik Indonesia
Joko Widodo
Di
Jakarta,-

Dengan hormat,

Saya terdorong menulis surat ini kepada Bapak Presiden Jokowi, karena terhenyak oleh tulisan tentang penantian panjang perempuan terpidana mati yang ditulis wartawan Kompas, Sonya Hellen Sinombor, yang dimuat di Harian Kompas awal tahun 2023. Tulisan pertama, berjudul Doa dan Asa Mary Jane dari Balik Jerugi” (Kompas, 9 Januari 2023,) dan tulisan kedua berjudul “Merry Utami, Dua Dekade Dihantui Kematian” (Kompas, 18 Januari 2023).

Tulisan yang mengulas nasib Mary Jane Fiesta Veloso (37), terpidana mati berkewarganegaraan Filipina yang menjalani penjara selama 13 tahun dan Merry Utami (48), perempuan asal Sukoharjo, Jawa Tengah menjalani penjara lebih dari dua dekade (21 tahun), benar-benar mengusik hati nurani saya, sebagai warga negara Indonesia, praktisi hukum, dan akademisi, untuk memohon belas kasih Bapak Presiden Jokowi terhadap kedua perempuan terpidana mati tersebut.

Sebagai manusia bertahun-tahun kedua perempuan ini berada dalam penjara, berada dalam penantian yang panjang, antara hidup dan mati. Bangun pagi, menjadi siksaan batin yang tak terkira, karena tidak ada kepastian sampai kapan mereka hidup. Dari sisi fisik mereka membayar mahal, dengan hidup di balik tembok yang membatasi ruang gerak mereka.

Sebagai umat beriman kita meyakini bahwa yang menentukan sampai kapan manusia hidup di dunia fana ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta manusia. Hidup umat manusia ada di tangan Sang Pencipta sendiri.

Akan tetapi, di dunia hukum, secercah harapan akan hidup-matinya seseorang, masih tersisa apabila mendapat perhatian dari Presiden. Terbukti, di saat Mary Jane dan Merry Utami menghadapi detik-detik hidupnya akan berakhir di ujung timah panas, Bapak Presiden Jokowi hadir menunda eksekusi hukuman mati mereka. Keluarga mereka dan para pejuang HAM, sungguh mengapresiasi langkah Presiden Jokowi.

Di luar negeri, di negara asal Mary Jane pun perjuangan hidup matinya Mary Jane juga mendapat perhatian Presiden Filipina, Rodrigo Duerte. Bahkan beberapa waktu lalu pihak pengadilan di Filipina membuka ruang keadilan bagi Mary Jane, dengan memberikan kesempatan untuk didengar kesaksiannya, dalam persidangan kasus Maria Kristina Sergio (orang yang dulu menyuruh Mary Jane membawa narkoba ke Indonesia).

Namun, sayangnya, proses tersebut hingga kini belum terlaksana, karena terhambat pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia maupun Filipina. Padahal, kesaksian Mary Jane dalam kasus Maria Kristina sangat penting.

Sebab, pengadilan di Filipina atas kasus Maria Kristina Sergio merupakan jalan atau pintu masuk bagi Mary Jane untuk mendapatkan keadilan. Kesaksiannya akan membuktikan bahwa Maria Kristina Sergiolah yang menjadi penyebab Mary Jane divonis mati. Maka sesuai dengan hukum acara, vonis hukuman mati Mary Jane dapat berubah di peninjaun kembali atau bisa menjadi pertimbangan Bapak Presiden untuk memberikan grasi.

Bahwa, selama dalam masa penantian 13 tahun itu, Mary Jane berkelakuan baik di lembaga pemasyarakatan, tanpa melakukan pelanggaran hukum. Bahkan Mary Jane sama sekali tidak punya latar belakang sebagai pemakai. Sayangnya, ketika diadili di Indonesia, Mary Jane tidak bisa membela diri karena kendala bahasa. Ketika itu, Mary Jane hanya didampingi penerjemah bahasa Tagalog yang tidak kompeten.

Padahal, sejumlah kesaksian Mary Jane, menunjukkan dia menjadi korban. Narkoba ditaruh di dalam koper Mary Jane oleh Kristina Sergio menjelang ke Indonesia, sama sekali di luar pengetahuannya.

Perjuangan hidup dan mati juga dialami Merry Utami, dalam penantian panjang hampir 22 tahun. Seperti Mary Jane, Merry juga adalah korban dari jaringan perdagangan narkoba. Sama seperti Mary Jane, Merry ditangkap, karena kopernya berisi narkoba. Namun, Merry selama proses hukum berulang kali menyatakan dirinya hanyalah korban yang diperdaya Jerry, yang mengaku warga negara Kanada dan berbisnis di Indonesia.

Baik Merry Utami maupun Mary Jane bukan recidivis yang pernah dihukum sebelumnya. Bahkan Mary Jane sama sekali tidak punya latar belakang sebagai pemakai.

Orang miskin jadi korban

Maka, sebagai Praktisi Hukum yang  banyak membela kasus-kasus narkoba, yang kebanyakan yang terjaring pengedaran kasus narkoba  adalah golongan miskin, izinkan saya menyampaikan pengalaman saya.

Pengalaman saya di buku berjudul: “Narkoba dan Peradilannya di Indonesia (isbn. 979-414-25-9 tahun 2011) menunjukkan bahwa mereka (warga miskin) gampang diiming-iming oleh bandar narkoba untuk menjadi kaki tangan pengedar barang haram tersebut.

Dalam dunia narkoba segala macam cara digunakan oleh pelaku utama, termasuk memperalat perempuan, apalagi mungkin melalui janji-janji menggiurkan, sehingga sang perempuan rela dipacari, lalu dijebak melalui perdagangan obat terlarang.

Mary Jane yang dari keluarga miskin, terbuai dan percaya akan mendapat pekerjaan yang lebih baik, yang dijanjikan oleh Maria Kristina Sergio, mau saja menuruti anjuran Maria Kristina untuk berangkat ke Indonesia, sebelum bekerja di Malaysia. Padahal dia hanya diperalat Maria Kristina Sergio.

Dan, saat ini, orang yang menyuruh Mary Jane membawa “barang” yang ternyata narkoba adalah Maria Kristina Sergio sedang diproses di Pengadian Filipina. Seandainya Pemerintah Indonesia memberi izin kepada Mary Jane Veloso untuk diperiksa di Filipina melalui pemeriksaan konfrontasi, akan terungkap bahwa orang yang memperalat atau menyuruh Mary Jane membawa “barang terlarang” itu adalah  Maria Kristina Sergio.

Saya pernah membela Richard Edwin Crawly seorang yang benar-benar bandar yang ditahan di Lapas Cipinang. Karena punya uang tanpa seri, dia cepat lepas. Bahkan, putusan Pengadilan Jakarta Selatan No.260/Pid/B/1997/Jkt.Sel. hanya menjatuhkan vonis 8 bulan penjara. Saya baru sadar yang bersangkutan bandar, karena ketika hendak meninggalkan Indonesia, yang bersangkutan ternyata memiliki sekitar 10 Paspor.

Saya juga pernah membela beberapa kasus narkoba. Terakhir kasus yang diadili di Pengadilan Negeri Batam untuk tersangka Andi Bahar. Andi Bahar adalah seorang buta huruf, yang menyaksikan bahwa narkoba tersebut dilempar oleh oknum polisi ke kapal mereka. Anehnya kapal dari mana narkoba itu dipindahkan ke kapal Andi Bahar, tidak disita penyidik sebagai barang bukti. Pemberitaan media menyebutkan Kapolres berhasil membongkar selundupan narkoba sebanyak 20 kilogram. Namun, ketika barang bukti “katanya’ dimusnahkan, si pelaku tidak menyaksikan pembakaran barang bukti  tersebut. Namun, berita acara pemusnahan barang bukti disodorkan kepada tersangka, agar tersangka menandatanganinya, padahal pemusnahan barang bukti tersebut sama sekali tidak disaksikan oleh para tersangka.

Ini menunjukkan bahwa dalam kasus kasus narkoba, kebanyakan yang tertangkap adalah orang kecil, sedang bandar jarang yang ditangkap, karena bandar punya jaringan, memperalat kaki tangan mereka agar peredaran narkoba tersebut tidak terdeteksi.

Fakta hukum di atas saya sampaikan sekedar untuk memberi gambaran bagaimana Mary Jane maupun Merry Utami sangat mungkin hanyalah menjadi alat bandar untuk mengedarkan barang haram tersebut.

Karena itulah, saya sangat mendukung berbagai upaya Komnas Perempuan dan para pembela HAM di Indonesia untuk memohon Bapak Presiden memberikan grasi bagi kedua perempuan terpidana mati tersebut. Apalagi mereka berdua berasal dari keluarga miskin, yang tak punya daya memperjuangkan keadilan melalui pengacara-pengacara handal.

Sebagai praktisi hukum, saya juga berkeyakinan dalam  kasus Mary Jane maupun Merry Utami- pelaksanaan hukuman matinya ditunda Bapak Presiden Jokowi tentu karena didasari sejumlah pertimbangan.

Maka, demi kepastian hukum dan demi kemanusiaan, kami memandang penantian selama lebih 20 tahun (Merry Utami) dan 13 tahun (Mary Jane) sudah lebih dari cukup menyiksa, sehingga kami mengetuk hati Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan pemberian Grasi kepada mereka atau  mengubah hukuman mereka menjadi seumur hidup.

Apalagi, ketika mereka tertangkap, kedua perempuan Mary Jane dan Merry Utami bukan residivis, tidak mempunyai latar belakang pernah melakukan tindak pidana, sehingga fakta ini seharusnya menjadi pertimbangan untuk meloloskan mereka dari hukuman mati.

Hal itu juga sejalan dengan perkembangan hukum positif di Indonesia. Kitab Undang Undang Pidana (KUHP) yang baru memberi kemungkinan perubahan hukuman mati, apabila selama 10 tahun berturut turut seorang terpidana hukuman mati, berkelakuan baik, maka yang bersangkutan diberi kesempatan mengajukan grasi agar hukuman mati dapat dipertimbangkan untuk diubah menjadi hukuman seumur hidup.

Lagi pula, falsafah Pancasila yang didasarkan Hak Asasi Manusia, yang menjadi landasan bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sangat menaruh perhatian terhadap kehidupan warga negaranya. Saat ini, negara-negara di dunia, bahkan Amerika Serikat saja sudah setengah negara bagian yang menghapus hukuman mati.

Untuk itulah, melalui surat ini kami memohon kepada kiranya Bapak Presiden Jokowi berkenan menghentikan penantian panjang Mary Jane dan Merry Utami, sebagai perempuan dan juga ibu yang menanti keadilan.

Kini kebjiksanaan untuk menyelamatkan hidup mereka, lepas dari vonis mati memang ada di tangan Bapak Presiden Jokowi. Kami sungguh berharap, semoga Bapak Presiden mempertimbangkan pemberian grasi, sehingga memberikan keadilan bagi Mary Jane dan Merry Utami.

Hormat saya.

Prof. Otto Cornelis Kaligis.

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan