Hemmen

Madrasah, Akankah Dipinggirkan?

M. Aminudin
M. Aminudin (dok. pribadi)

“Bagaimanapun, UU Sisdiknas yang baru hasil revisi itu harus menjawab permasalahan mendasar yang sedang dihadapi madrasah agar dari segi anggaran dan fasilitas belajar bisa sama dengan yang diperoleh sekolah umum seperti SMP, SMA dan sejenisnya.”

Oleh M. Aminudin

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

Memasuki Bulan Suci Ramadhan 2022 ini menyeruak ke publik tentang wacana dihapuskannya madrasah dalam Revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Para pemangku pendidikan terutama Ormas Islam menilai, penghapusan madrasah akan menimbulkan dampak luas penutupan madrasah-madrasah yang sudah berkembang sejak akhir 1800-an. Madrasah telah berperan mencerdaskan kehidupan bangsa, jauh sebelum Kemerdekaan RI.

Setidaknya, penghapusan madrasah dalam UU Sisdiknas dikhawatirkan semakin meminggirkan madrasah dari dunia pendidikan, dan lembaga pendidikan tersebut akan semakin sulit mendapat pendanaan dari pemerintah.

Dalam kaitan ini, Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara, Arifin Junaidi, mengatakan, alih-alih memperkuat integrasi sekolah dengan madrasah, draft RUU Sisdiknas malah menghapus penyebutan madrasah. Padahal, menurut dia, madrasah merupakan bagian penting dalam sistem pendidikan nasional.

Tentu saja berita itu mengagetkan masyarakat Indonesia, terutama kaum Muslimin, karena madrasah adalah lembaga pendidikan yang sudah memiliki akar yang dalam pada sejarah pendidikan Indonesia, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Tercatat dalam sejarah, pada 1905 hadir Madrasah Manbaul Ulum Kerajaan Surakarta dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat tahun 1909. Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada.

Madrasah boleh dikatakan merupakan pranata pendidikan yang mentransfer ilmu pengetahuan dan menjadi benteng pertahanan rakyat Nusantara di masa penjajahan dalam menghadapi serbuan nilai-nilai yang disebar melalui lembaga pendidikan sekuler yang didirikan para penjajah seperti Belanda dan Jepang.

Pemerintah Hindia Belanda sudah menyadari ancaman yang timbul, sehingga waktu itu kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan dan membatasi. Ada kekhawatiran Belanda terhadap munculnya militansi kaum Muslimin terpelajar.

Salah satu bentuk kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi lembaga pendidikan Islam adalah dengan diterbitkannya Ordonansi Guru pada 1905 dan 1926.

Kebijakan Ordonansi itu bertujuan membatasi ruang gerak pendidikan madrasah, termasuk membubarkan madrasah dan mencekal guru yang tidak diinginkan, dan kekhawatiran Belanda itu kemudian terbukti atau menjadi kenyataan.

Banyak jebolan madrasah atau ulama pengasuh madrasah yang menjadi tokoh pejuang nasional anti penjajahan seperti KH Hasyim Asy’ary, KH Ahmad Dahlan, dan KH Zainal Mustofa Singaparna.

Sementara itu di masa kemerdekaan madrasah menghasilkan banyak pemimpin nasional, kelompok professional, dan cendekiawan seperti mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, Wapres KH Ma’ruf Amin, dan Tokoh Pers Dahlan Iskan.

Dengan melihat output yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan madrasah itu, jelas bahwa lulusan madrasah tidak kalah kualitasnya dengan lulusan sekolah umum seperti SMA dan SMK.

Melihat kontribusi besar madrasah terhadap kemajuan bangsa Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia, tak mengherankan Negara pasca Kemerdekaan memberikan perhatian besar pada pengembangan madrasah.

Tak main-main, eksistensi madrasah diatur dalam Tap MPRS No. 27 Tahun 1966, dan dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional.

Selain itu, dalam Tap MPRS No.2 Tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom dibawah pengawasan Menteri Agama. Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah, tidak saja yang bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga yang bersifat kejuruan.

Penetapan madrasah membuat payung hukum yang kuat sekali, sehingga harus dijabarkan oleh peraturan di bawahnya. Tahun 1975 keberadaan madrasah dikukuhkan SKB tiga menteri (Menag, Mendikbud dan Mendagri). Kedudukan madrasah sama dan sejajar dengan sekolah formal lainnya.

Demikian juga dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 ditegaskan ulang bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam.

Kurikulum yang digunakan pun secara umum mengacu kepada Kurikulum Dinas ditambah kurikulum agama yang dikeluarkan oleh Departemen Agama (Depag). Oleh karena itu diproyeksikan madrasah memberikan nilai plus pengetahuan agama dibanding sekolah umum.

Posisi madrasah semakin diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang memposisikan madrasah dan lembaga pendidikan lainnya (persekolahan) sama dan sederajat, yaitu sebagai bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional.

Sebagai lembaga pendidikan, baik madrasah maupun sekolah umum berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berkembangnya potensi peserta didik diharapkan dapat menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Bentuk dan jenjang pendidikan madrasah secara konstitusional setara dengan bentuk dan jenjang pendidikan persekolahan. Pasal 17 ayat (2) UU No. 20 tahun 2003 menyebutkan, pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTS) atau bentuk lain yang sederajat.

Selanjutnya pada bagian kedua tentang Pendidikan Menengah pasal 18 ayat (3) disebutkan, ”Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajat.”

Kesamaan dan kesetaraan lembaga pendidikan madrasah dengan sekolah umum mensyaratkan hal yang sama tanpa diskriminasi dari pemerintah, baik dalam soal pendanaan, kesempatan, dan perlakuan. Klausul dalam undang-undang itu berimplikasi kepada perlakuan, perhatian, dan pendanaan program pendidikan yang dilaksanakan madrasah.

Kini di tahun 2022 Pemerintahan Jokowi menggulirkan wacana revisi UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas disertai isu penyingkiran madrasah dalam draft RUU-nya. Tentu saja wacana ini menimbulkan resistensi yang meluas di masyarakat, terutama pemangku pendidikan dan Ormas Islam.

Tetapi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim segera berusaha menepis isu yang menyebutkan bahwa madrasah hilang dalam draf RUU Sisdiknas.

Ia mengatakan, “Sedari awal tidak ada keinginan atau pun rencana untuk menghapus sekolah, madrasah, atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional. Sebuah hal yang tidak masuk akal dan tidak pernah terbersit samasekali,” kata Nadiem dalam keterangannya di Instagram @nadiemmakarim yang dikutip pada 30 Maret 2022.

Madrasah, lanjutnya, tetap masuk Sisdiknas dan diatur melalui batang tubuh RUU Sisdiknas. Hanya saja penamaan spesifik jenis sekolah akan dipaparkan di Bagian Penjelasan agar tidak terikat di tingkat undang-undang sehingga lebih fleksibel.

Benar kata Mendikbudristek bahwa tak masuk akal menghapus UU Sisdiknas yang berarti menabrak TAP MPRS di atasnya serta merupakan pembangkangan terhadap UUD 45 Pasal 31 ayat 3 (3) dimana Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.

Frasa kalimat ini sebenarnya lebih merujuk pada kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan seperti madrasah, karena keimanan dan ketakwaan itu eksplisit ada dalam agama Islam yang diajarkan di madrasah-madrasah. Justru sudah semestinya revisi UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas memperkuat keberadaan madrasah di batang tubuh (di pasal-pasal utamanya).

Bagaimanapun, UU Sisdiknas yang baru hasil revisi itu harus menjawab permasalahan mendasar yang sedang dihadapi madrasah agar dari segi anggaran dan fasilitas belajar bisa sama dengan yang diperoleh sekolah umum seperti SMP, SMA dan sejenisnya.

Setidaknya Negara mempertahankan posisi Madrasah pada UU Nomor 20 tahun 2003 di batang tubuh undang-undang tersebut serta bukan di bagian penjelasan.

Jika ini dilakukan pada akhirnya tentu akan membantu tercapainya tujuan Kemerdekaan Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam Preambule UUD ‘45, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

*M. Aminudin adalah mantan Staf Ahli Pusat Pengkajian MPR RI tahun 2005/ Staf Ahli DPR RI 2008/Tim Ahli DPD RI 2013/Pengurus Pusat Alumni UNAIR Dept. Entrepreneurship/Peneliti Institute for Strategic and Development Studies (ISDS).

BACA JUGA  “Catatan Kritis” Kelemahan Regulasi Pandemi Covid-19
Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan