Hemmen
Hukum  

Mantan Hakim Agung Sebut Diskriminasi Warga Binaan Tipikor Langgar HAM

Advokat senior OC Kaligis bersama Arbijoto, Saksi Ahli mantan Hakim Agung/ist 

Jakarta, SudutPandang.id – OC Kaligis yang menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal remisi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, menghadirkan saksi ahli dalam sidang lanjutan pada Selasa (10/11/2020).

Saksi Ahli yang hadirkan adalah Arbijoto, Hakim Agung periode 1998-2006 menegaskan bahwa remisi merupakan hak dari warga binaan, sehingga jika tidak berikan maka melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

“Berdasarkan konstitusi yang menjunjung tinggi perlakuan persamaan di depan hukum (equality before the law), maka semua warga binaan mendapatkan hak yang sama seperti misalnya remisi,” kata Arbijoto, dalam keterangannya di persidangan.

Soal hak remisi jika dihubungkan dengan UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012, Arbijoto menyebut pertimbangan hukum kedua Undang-undang tersebut adalah Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi equality before the law.

“Pasal 14 ayat 1 huruf I dan ayat 2 UU No.12 Tahun 1995, Narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Kemudian, Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 tegas menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,” papar Saksi Ahli Arbijito.

BACA JUGA  Alexius Tantrajaya: Dipastikan Hakim Agung Berintegritas Senang Adanya OTT KPK

“Diskriminasi perlakuan dalam memberi hak asasi yang seharusnya diperoleh warga binaan adalah bertentangan dengan HAM,” tegasnya.

Ia juga menyebutkan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Selain itu, disebutkan juga UU No.12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Internasional Convenant Civil And Political Richt (ICCPR) Pasal 10 ayat 3 dan Pasal 26 dan lain lain.

“Hak remisi tersebut juga diakui sebagaimana dipertimbangkan dalam putusan No.2368/K/pid.sus/2015 atas nama terdakwa Muhtar Ependy dinyatakan hak remisi bersifat universal diberikan kepada para narapidana yang memiliki kelakuan baik. Di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Pasal 34 ayat 1,2,3 PP No.28 Tahun 2000 tentang Perubahan atas PP No. 32 Tahun 1999 dan untuk pelepasan bersyarat berdasarkan Pasal 36 ayat 4 Nomor 28 Tahun 2000 jo PP No.32 Tahun 1999,” papar Arbijito.

Menurutnya, sejak diberlakukan UU No.12 Tahun 1995, semua peraturan tentang Pemasyarakatan peninggalan kolonial Belanda dinyatakan tidak berlaku lagi, menjadikan manusia tahanan Lapas dengan sebutan warga binaan.

“Warga binaan yang harus diperlakukan secara manusiawi dengan melakukan binaan, maka kepada warga binaan yang berkelakuan baik, diberi hak remisi, pembebasan bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU Tentang Pemasyarakatan,” terang Arbijoto.

BACA JUGA  Gus Samsudin Ikhlas Ditahan Gegara Konten Tukar Pasangan

Bukan Ranah KPK

Pada kesempatan itu, Saksi Ahli yang sudah berpengalaman menjadi pengadil mengutip pendapat dari temuan laporan Panitia Angket KPK DPR-RI.

“Seluruh Warga Binaan kompentensinya berada di bawah Lembaga Pemasyarakatan bukan di KPK. PP No.99 Tahun 2012 bertentangan dengan sistem perundang-undangan maupun penerapan Criminal Justice System. Hal ini yang disangkal oleh lahirnya PP No.99 Tahun 2012. PP No.99 Tahun 2012 bertentangan dengan Pasal 9 ayat 1 UU No. 12 Tahun 1995,” sebut Arbijito.

Ia juga kembali menyebut, apa yang diatur dalam PP No.99 Tahun 2012 sangat bertentangan dengan UU No.12 Tahun 1995, terlebih dengan UUD 1945 yang berada di atasnya. UU No.12 Tahun 1995 memberikan jaminan dengan menjunjung tinggi asas equality before the law.

“Telah terjadi diskriminasi yang tidak mempunyai landasan hukum, dimana warga binaan tindak pidana korupsi (Tipikor) mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan warga binaan pada umumnya dalam memperoleh hak-haknya yaitu hak remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan sebagainya,” katanya mempertanyakan.

“Namun, anehnya kepada warga binaan koruptor dipersyaratkan harus memiliki predikat justice collaborator yang tidak memiliki landasan hukum,” tambah Arbijito.

BACA JUGA  OC Kaligis Kecewa Sidang Gugatannya Terhadap Erick Thohir Ditunda, Ini Alasannya

Semua keterangan Arbijoto dalam persidangan disampaikan secara tertulis dan dibacakan Penggugat. Hal ini dilakukan lantaran kondisi Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini sudah uzur.

Dalam perkara ini, OC Kaligis menggugat KPK di PTUN Jakarta terkait Surat Nomor: B/2848/HK.06.04/55/06/2020 perihal tanggapan atas surat OC Kaligis tertanggal 9 Mei soal proses Administrasi dan Pemberian Remisi kepada Warga Binaan, tertanggal 16 Juni 2020 yang dikeluarkan KPK.

Dalam surat gugatan dengan Nomor: 136/G/2020/PTUN-JKT, Advokat senior ini mengaku sangat dirugikan atas adanya surat KPK yang dinilainya menyalahi peraturan perundang-undangannya. Ia pun memohon kepada Majelis Hakim PTUN untuk menyatakan batal atau tidak sah.(tim)

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan