Hemmen

Menata Ulang Sistem Perwakilan di Indonesia, Bisakah?

Moderator pada Webinar "Menata Ulang Sistem Perwakilan di Indonesia", Dr. Asep Setiawan. Webinar tersebut diselenggarakan oleh Program Studi Magister Ilmu Politik FISIP UMJ, Kamis (23/6/2022). (Foto: Istimewa)

“Perubahan melalui amandemen bukan hal yang mudah. Salah satu alasannya dikhawatirkan munculnya penumpang gelap yang antara lain menghendaki adanya perpanjangan masa jabatan presiden.”

JAKARTA|SUDUTPANDANG.ID – Wacana menata ulang sistem pemilu, partai politik dan parlemen merupakan hal yang patut menjadi perhatian serius dengan tujuan meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. Demokrasi yang berkualitas akan menciptakan pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel.

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

Demikian sebagian dari butir-butir pendapat dalam Webinar bertajuk “Menata Ulang Sistem Perwakilan di Indonesia” yang berlangsung Kamis (23/6/2022).

Webinar tersebut diselenggarakan oleh Program Studi Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (Mipol FISIP UMJ).

Tampil sebagai pembicara, Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid, Anggota DPD Tamsil Linrung, Rektor UMJ Ma’mun Murod, dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Januari Aquarta, dengan moderator Kaprodi Mipol FISIP UMJ Asep Setiawan.

Disebutkan, pasca perubahan UUD 1945, sistem perwakilan yang dianut di Indonesia adalah sistem perwakilan dengan tiga lembaga perwakilan (sistem trikameral) yaitu MPR, DPR, dan DPD yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang berbeda dan terpisah.

Jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang menuntut semakin dekatnya akses antara pusat dan daerah, tampak bahwa DPD yang merupakan representasi daerah tidak memiliki wewenang yang siginifikan.

Pada kesempatan itu, Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid menyatakan, perubahan terhadap sistem perwakilan di MPR, DPR dan DPD merupakan opsi yang masih terbuka. Perbaikan semua kewenangan lembaga perwakilan itu ada di dalam Undang-Undang Dasar.

“Amandemen konstitusi itu telah diatur dalam UUD Pasal 37 yang antara lain berbunyi “Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat”, terang Hidayat Nur Wahid.

Sementara itu Anggota DPD Tamsil Linrung menyatakan, pihaknya sudah memiliki konsep amandemen konstitusi, dan amandemen itu masih terbuka asal syaratnya terpenuhi, yaitu diperlukan 237 suara dari 711 suara di MPR.

Kendati demikian, ia mencatat bahwa cara perubahan melalui amandemen bukan hal yang mudah. Salah satu alasannya dikhawatirkan munculnya penumpang gelap yang antara lain menghendaki adanya perpanjangan masa jabatan presiden.

“Oleh sebab itulah gagasan amandemen ini sejak awal ditegaskan sebagai amandemen terbatas dengan fokus pada penataan haluan negara serta fungsi dan wewenang MPR, DPR dan DPD,” kata Senator asal Sulawesi Selatan itu.

Jalan Buntu 

Pada kesempatan yang sama, Rektor UMJ Ma’mun Murod mencatat bahwa amandemen dimaksud tidak mudah dilakukan karena situasi politik sekarang sudah menemui jalan buntu.

Meski ruang amandemen masih terbuka, ia memperkirakan sudah adanya agenda yang bermacam-macam dengan kepentingan politik tertentu. Usulan amandemen itu nampaknya tidak bertujuan untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik.

Selanjutnya, mahasiswa Mipol UMJ Januari Aquarta berpandangan perlunya dibangun sistem parlementer dua kamar (bikameral) yang substantif antara DPR dan DPD. Kekuasaannya bukan saja setara, tetapi juga bisa saling imbang dan saling kontrol satu sama lain.

“Apabila dilakukan amandemen kembali terhadap UUD 1945, maka pasal mengenai DPD sekurang-kurangnya harus mengatur bahwa DPD juga diberi wewenang untuk membahas dan memutuskan mengenai seluruh RUU yang dibahas di DPR,” tuturnya.(rkm)

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan