Pemakzulan Presiden, Alexius Tantrajaya: Kalau Inkonstitusional Berdampak Terjadinya Pelanggaran Hukum

Pemakzulan Presiden, Alexius Tantrajaya: Kalau Inkonstitusional Akan Terjadi Pelanggaran Hukum
Alexius Tantrajaya, S.H., M.Hum. (Dok.Pribadi)

“Sehingga apa yang dilakukan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat guna menghindari delik pidana sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan KUHP, di antaranya pasal 207 KUHP jo pasal 310 KUHP jo pasal 316 KUHP yang kini masih eksis berlaku sampai awal 2026.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Praktisi hukum Alexius Tantrajaya menyatakan bila upaya pemakzulan terhadap presiden dilakukan secara inkonstitusional, maka akan berdampak terjadinya pelanggaran hukum.

Kemenkumham Bali

Pandangan tersebut disampaikan Alexius Tantraya menanggapi terkait sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Petisi 100 yang meminta pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menurut Alexius Tantrajaya, niatan Petisi 100 untuk pemakzulan terhadap Presiden Jokowi sebagai presiden sah dipilih oleh rakyat Indonesia haruslah dilakukan secara konstitusional melalui mekanisme yang benar.

“Sehingga apa yang dilakukan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat guna menghindari delik pidana sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan KUHP, di antaranya pasal 207 KUHP jo pasal 310 KUHP jo pasal 316 KUHP yang kini masih eksis berlaku sampai awal 2026,” kata Alexius dalam keterangan tertulis Jakarta, Rabu (17/1/2024).

Advokat senior itu menjelaskan alur secara konstitusional untuk pemakzulan seorang Presiden atau Wakil Presiden. Ia mengatakan, untuk pemakzulan presiden dapat terjadi apabila presiden terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, seperti tindak pidana korupsi, penyuapan, tindak pidana berat atau perbuatan tercela. Sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 7A UUD 1945.

“Begitu pula mekanisme untuk pemakzulan presiden harus diajukan oleh DPR-RI dalam fungsi pengawasan, yang harus disetujui oleh 2/3 dari seluruh anggota DPR-RI, kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.

Kemudian, lanjutnya, apabila putusannya menyatakan terbukti sesuai alasan yang diajukan oleh DPR-RI, maka para wakil rakyat mengajukan ke MPR-RI untuk bersidang dengan dihadiri 3/4 dari jumlah seluruh anggota MPR-RI dan putusannya harus disetujui oleh 2/3 dari anggota yang hadir.

“Demikian alur secara konstitusional untuk pemakzulan seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden, karenanya upaya pemakzulan Presiden Jokowi tidak dilakukan melalui jalur konstitusional akan berakibat melanggar hukum,” pungkasnya.

Inkonstitusional

Terpisah, sebelumnya Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, berpendapat mereka yang ingin memakzulkan Jokowi seharusnya mendatangi fraksi-fraksi DPR, bukan Mahfud MD selaku Menkopolhukam. Terlebih, Mahfud juga terlibat dalam Pilpres 2024 sebagai cawapres.

“Seharusnya mereka menyambangi fraksi-fraksi DPR, kalau ada yang berminat menindaklanjuti keinginan mereka agar segera dilakukan langkah-langkah pemakzulan. Mahfud sendiri menegaskan bahwa pemakzulan bukanlah urusan Menko Polhukam,” ujar Yusril, Minggu (14/1/2024).

Yusril menduga gerakan pemakzulan ini sebagai gerakan inkonstitusional kelompok yang ingin memperkeruh suasana jelang pelaksanaan Pemilu 2024.

Sementara itu, inisiator Petisi 100, Faizal Assegaf, mengklaim gerakan untuk memakzulkan Presiden Jokowi telah mendapat dukungan luas dari kalangan partai politik. Bahkan, Faizal juga mengklaim 50 persen kalangan internal Partai Gerindra, partai pengusung paslon Prabowo Subianto dan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, mendukung wacana pemakzulan.

Faizal menyebut bahwa gerakan pemakzulan ini telah berlangsung sejak Juni 2023 dan telah bersurat ke DPR dan MPR.

“Kalau arah, tujuan negara ini ditunggangi oleh dinasti politik, maka protes secara gerakan moral itu akan muncul,” kata Faizal dilansir dalam keterangannya di salah satu televisi swasta, Selasa (16/1/2024).(red/01)

BACA JUGA  Jokowi Umumkan Staf Khusus dari Kalangan Milenial