Hemmen
Opini  

Menyikapi Pro-Kontra Impor Pakaian Bekas

Muhammad Yuntri
Muhammad Yuntri (Foto:Istimewa)

“Sebagai solusi dan jalan tengah yang bijak, semestinya pemerintah harus melihat masalah ini secara komprehensif terpadu.”

Oleh Muhammad Yuntri

Menarik untuk disimak tentang pro-kontra impor pakaian bekas (thrifting). Karena di sana minimal ada tiga dimensi yang harus diperbincangkan. Di antaranya dari sisi pedagang pakaian impor bekas, di sisi lainnya adalah konsumen dan sisi pemerintah.

Sisi Pedagang

Ibarat pepatah, “di mana ada gula, maka di sanapun ada semut.” Dan di situ pun juga akan berlaku hukum “supply and demand”, makanya tak heran jika si pedagang melihat peluang untuk mendapatkan cuan dari bisnis limbah fesyen luar negeri ini.

Mereka hanya berorientasi bisnis semata yang bersifat gambling. Jika laris manis, tentu berpotensi untung besar. Tapi jika tidak laku atau kena razia aparat, maka berpotensi apes dan merugi alias amsiong. Jika fenomena ini dibiarkan, maka ekonomi kita menuju “ekonomi liberal” dengan konsep perdagangan bebas dan menjauh dari nilai-nilai “ekonomi Pancasila.”

Sisi Konsumen

Sangat menggiurkan bagi konsumen untuk mendapatkan barang murah tapi berkualitas dan bermerek (branded) luar negeri dan masih layak pakai. Dan harganya pun masih terjangkau di kantong dibanding harus membeli pakaian baru untuk merek yang sama.

Seolah mereka merasa terpuaskan bisa menggunakan pakaian branded walau sudah bekas pakai dari orang lain. Adakalanya pakaian bekas impor ini berasal dari mereka yang baru beberapa kali saja memakainya tapi tergiur untuk membeli produk baru dengan disain yang berbeda, sehingga pakaian lama harus mereka lempar ke pedagang pengepul pakaian bekas dari pada harus menumpuk di apartemennya yang kecil dan butuh space tertentu untuk jangka panjang.

Si konsumen dalam negeri bisa memiliki pakaian berkualitas dan bermerek tersebut dengan harga relatif murah terjangkau bagi kantongnya, yang tidak mungkin dia beli dalam kondisi baru. Fenomena ini lagi trendy di kalangan masyarakat khususnya pecinta pakaian bermerek terkenal alias branded.

Jika hal ini dibiarkan akan menimbulkan budaya baru di kalangan masyarakat yang bisa mengarah kepada kecintaan budaya dan pakaian luar negeri yang bakal meninggalkan kelestarian budaya lokal.

Selain itu, juga akan mematikan usaha produk tekstil dalam negeri beserta tidak terserapnya tenaga kerja yang memproduksi pakaian lokal tersebut selama ini. Dan menambah jumlah pengangguran di dalam negeri dari sektor industri dan perdagangan ini.

Sisi Pemerintah

Sebagai regulator pemerintah berwenang untuk melarang kegiatan ilegal impor tekstil dan produk tekstil atas pakaian bekas (thrifting) tersebut dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan dampaknya seperti telah dijelaskan di atas.

Demi menegakkan kewibawaannya serta memberi proteksi pada UKM dalam negeri di sektor tekstil dan produk tekstil ini, pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasi Permendag No.15/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas jo. Permendag No.40/2022 tentang Perubahan Permendag No.18 Tahun 2022 tentang “Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.”

Jika fenomena di atas tidak dicegah, maka akan merusak perdagangan “tekstil dan produk tekstil” dalam negeri yang secara langsung maupun tidak langsung akan berimbas kepada dan mematikan usaha produksi pakaian jadi dari UKM dalam negeri dan juga pedagang UKM lainnya.

Selain itu kegiatan ilegal impor thrifting ini juga bermotif untuk menghindari pendapatan pajak bagi pemerintah sebagai income utama dari dana APBN.

Jadi sangat pantas kalau pemerintah memberi efek jera pada perbuatan impor ilegal ini dengan cara memusnahkan pakaian bekas yang diimpor secara ilegal tersebut.

Solusi

Sebagai solusi dan jalan tengah yang bijak, semestinya pemerintah harus melihat masalah ini secara komprehensif terpadu. Salah satunya dengan cara memberi peluang serta membina UKM dan usaha produk tekstil dalam negeri dengan sebaik-baiknya untuk bisa bersaing dengan produk tekstil asing yang sudah branded tersebut.

Baik dengan pemberian fasilitas permodalan seperti KUR, keikutsertaan dalam program promosi/pameran di dalam dan ke luar negeri, bimbingan teknis produk dan desain yang menarik yang bisa dibiayai oleh perusahaan induk BUMN/BUMD dengan konsep pemanfaatan dana CSR untuk usaha kecil binaan serta keterlibatan Kadin/Kadinda serta Dekranas dan Dekranasda dalam pembinaan langsung untuk sektor industri dan perdagangan pakaian jadi, sehingga produk tekstil pakaian jadi dalam negeri pun desainnya akan banyak diminati dan harganya pun juga bisa bersaing dengan produk luar negeri.

Harmonisasi inilah yang harus dijaga pemerintah, sehingga semua pihak bisa menerima kebijakan pemerintah yang berpihak pada usaha dalam negeri yang bisa dibanggakan anak negeri dan mendukungnya. Semoga..

*Penulis Muhammad Yuntri adalah pemerhati masalah sosial dan advokat senior

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan