Hukum Mati Koruptor Selamatkan Indonesia

Maraknya Politisi Korupsi. Koruptor
Alexius Tantrajaya, S.H., M.Hum. (Dok.Pribadi)

“Hukuman mati atau seumur hidup dapat diterapkan terhadap hakim yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan jual-beli perkara yang ditanganinya.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Praktisi hukum senior Alexius Tantrajaya menyatakan bahwa salah satu upaya menyelamatkan Indonesia adalah dengan menghukum mati koruptor. Pasalnya, bila sanksi hukuman terhadap koruptor masih belum maksimal diterapkan, kejahatan korupsi akan terus terjadi. Hukuman mati di Indonesia masih berlaku di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

“Indonesia harus mencontoh China dalam memerangi para koruptor, dijatuhkan pidana mati dan eksekusinya ditembak mati dilakukan di hadapan umum, maka hasilnya Tiongkok kini perekonomiannya makmur bisa dinikmati oleh seluruh rakyatnya,” ujar Alexius Tantrajaya dalam keterangan tertulis, Minggu (10/11/2024).

Bertepatan dengan Hari Pahlawan, Alexius Tantrajaya kembali mengingatkan aparat penegak hukum agar sungguh-sungguh tanpa kompromi dalam pemberantasan korupsi. Dampak korupsi sangat mempengaruhi sektor kehidupan suatu negara termasuk Indonesia yang diperjuangkan para pahlawan bangsa.

“Korupsi masuk kategori extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Jika kita sudah sepakat untuk memeranginya korupsi seharusnya hukuman terhadap koruptor bisa maksimal termasuk menghukum mati,” kata advokat senior itu.

BACA JUGA  Willy Dozan Berharap Keluarga Rinoa Aurora Mau Berdamai

Ia menilai dalam kasus korupsi hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap hampir semuanya tidak ada yang maksimal mati atau seumur hidup dan dirampas seluruh harta hasil kejahatannya.

“Sehingga calon koruptor berani ambil risiko berjudi atas nasibnya, bila ketangkap hanya akan menjalani hukuman tidak maksimal, dan hasil uang korupsinya yang tersimpan cukup untuk menjamin hidupnya bila telah keluar dari penjara setelah dapat potongan tahanan, dan bebas,” ungkapnya.

Menurutnya, ringannya hukuman terhadap para koruptor ini menjadi tugas Ketua Mahkamah Agung (MA) yang justru harus merasakan ketidak-adilan oleh jajaran di bawahnya.

“Untuk itu seharusnya langsung dicari apa yang menjadi alasan hakim tersebut berbaik hati meringankan terdakwa koruptor, namun dengan cara tidak melanggar independensi peran hakim, karena belum tentu atas putusan tersebut banding ataupun kasasi ke MA, untuk itu tidak harus ditunggu,” katanya.

Seharusnya hakim menjatuhkan hukuman penjara maksimal sesuai ketentuan undang-undang, yakni hukuman mati, seumur hidup atau 20 tahun, tanpa pengurangan hukuman bagi terdakwa koruptor, dan seluruh harta korupsinya di sita untuk dikembalikan kepada negara.

BACA JUGA  Wakil Ketua PN Jakpus Imbau Hakim dan Panitera Jaga Integritas

“Karena putusan hakim mengikat sebagai undang-undang, maka Hakim bisa melakukannya, tanpa harus menunggu di undangkannya UU Perampasan Aset,” ujarnya.

Terkait muncul lagi oknum hakim dan pejabat negara yang terjerat gratifikasi dan korupsi, itu menjadi contoh nyata belum adanya efek jera terhadap semangat pemberantasan yang terus digaungkan.

“Hukuman mati atau seumur hidup dapat diterapkan terhadap hakim yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan jual-beli perkara yang ditanganinya,” tegasnya.

UU Perampasan Aset dan Pengawasan 

Soal RUU Perampasan Aset, Alexius berharap harus bisa diupayakan oleh Presiden Prabowo Subianto agar menjadi undang-undang di masa pemerintahannya. Semua itu untuk mewujudkan pemerintahan yang berwibawa dan bersih dari kejahatan korupsi, narkoba, judi online dan perkara lainnya yang merugikan keuangan negara agar bisa diberantas habis guna menuju Indonesia Emas.

Soal masih lemahnya pengawasan, ia menyarankan sebaiknya tugas pejabat yang ditempatkan di lembaga pengawasan pada setiap institusi pemerintah maupun lembaga lain seperti MA haruslah pejabat independen. Diangkat berdasarkan seleksi ketat oleh suatu tim independen yang dibentuk oleh negara hanya untuk kepentingan pengawasan.

BACA JUGA  Kasus Bahar bin Smith & Husin Alwi, DPR Ingatkan Polisi Tak Pandang Bulu

“Calon pejabat pengawas yang telah dilakukan seleksi harus bukan berasal bekerja di institusi dimana yang bersangkutan akan ditempatkan, agar dapat dihindarkan dari pertemanan, sehingga bisa bekerja lebih efektif dan bertanggung-jawab, dengan tugasnya, dan bila terjadi korupsi di institusi yang diawasinya, maka agar bisa diatur diberikan sanksi pidana turut serta dalam peristiwa korupsi tersebut,” paparnya.

“Untuk itu, mekanisme kerjanya harus diatur oleh negara agar bisa melibatkan peran pengawas, sehingga fungsi dan kemanfaatannya lembaga pengawasan ini bisa bekerja efektif dan bertanggung-jawab kepada negara,” pungkasnya.(Um/01)