Hemmen

Kasus Gagal Ginjal, Alexius Tantrajaya: Jangan Dulu Salahkan Dokter

Alexius Tantrajaya, SH, MHum
Alexius Tantrajaya, SH, M.Hum (Dok.Pribadi)

“Jangan selalu menyalahkan dokter. Pandangan saya dari sudut pandang hukum apabila ada dokter yang disangkakan melakukan malpraktik akibat pemberian resep yang ternyata di kemudian hari menyebabkan pasien mengalami gagal ginjal.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berperan penting terhadap pengawasan peredaran obat dan makanan di Indonesia. Begitu juga dengan pengumuman Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang melarang penggunaan obat dalam dalam bentuk cair atau sirup menyikapi kasus gagal ginjal pada anak. Sehingga bukan sepenuhnya menjadi kesalahan dokter saat memberikan resep.

Pandangan tersebut disampaikan praktisi hukum Alexius Tantrajaya menanggapi kasus gagal ginjal pada anak yang terjadi baru-baru ini di Indonesia.

“Jangan selalu menyalahkan dokter. Pandangan saya dari sudut pandang hukum apabila ada dokter yang disangkakan melakukan malpraktik akibat pemberian resep yang ternyata di kemudian hari menyebabkan pasien mengalami gagal ginjal,” kata Alexius Tantrajaya kepada Sudutpandang.id, Kamis (20/10/2022).

“Sebetulnya dokter itu kan memberikan resep obat untuk pasiennya berdasarkan pengetahuannya, salah satunya berdasarkan informasi yang tertera di kemasan resmi yang dilampirkan pabrik farmasi produsen  obat,” lanjutnya.

Advokat senior ini mengatakan, apabila ternyata berdasarkan hasil penggunaan obat tersebut telah menimbulkan efek samping yang tidak terduga di luar peringatan pabrik farmasi, maka BPOM RI harus segera melakukan uji kandungan atas obat tersebut

“Apakah sudah sesuai komposisi kandungannya atau ada elemen bahan lain yang membahayakan bagi kesehatan manusia. Hal ini penting sekali agar seorang dokter dalam menjalankan profesinya dalam penyembuhan penyakit pasiennya dapat dihindarkan dari tuduhan malpraktek,” ujarnya.

“Karenanya, peran BPOM dan Kementerian Kesehatan RI harus tanggap dan tegas bersikap terhadap obat sirup, baik itu Parasetamol atau lainnya masih atau sudah tidak boleh dikonsumsi lagi bagi penderita, didasarkan hasil penelitiannya secara ilmiah yang resmi telah dilakukan berdasarkan kewenangannya,” sambung Alexius.

Menurut Alexius, kalau ternyata ada kandungan elemen lain dalam obat yang diproduksi oleh pihak farmasi tersebut, maka harus diproses hukum.

“Karena ada kandungan bahan obat lain disembunyikan yang membahayakan kesehatan manusia. Ini kan diluar sepengetahuan dokter,” tegasnya.

Seperti diketahui, Kemenkes telah melarang dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meresepkan obat-obatan dalam bentuk cair atau sirup. Larangan ini sebagai upaya kewaspadaan di tengah melonjaknya kasus gagal ginjal akut yang banyak menyerang anak-anak di Indonesia.

Larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Kemenkes Nomor: SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) pada Anak. Obat yang dilarang untuk dijual termasuk semua jenis obat dalam bentuk sirup atau cair, tidak terbatas pada obat paracetamol sirup saja.

Kasus Ginjal Akut

Kemenkes mencatat jumlah temuan kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal atau dikenal dengan istilah gagal ginjal misterius di Indonesia mencapai 206 orang per Selasa (18/10/2022).

Dari ratusan kasus gagal ginjal misterius itu, 99 orang di antaranya dinyatakan meninggal dunia. Tingkat kematian kasus ini mencapai 48 persen dari total kasus terdeteksi.

Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril menyebut ratusan kasus gagal ginjal misterius itu didapatkan dari laporan 20 provinsi di Indonesia yang sudah masuk per 18 Oktober 2022. Mayoritas kasus terjadi pada anak usia 1-5 tahun.(um/01)

Kesbangpol Banten

Tinggalkan Balasan